Mohon tunggu...
Alvin Haidar
Alvin Haidar Mohon Tunggu... Relawan - Chemical engineer in the making

Teknik kimia ITB 2016, Terbentur, terbentur, terus tidur Pembelajar, pelajar, pengajar, terhajar.... Cek ig @sobatgajah yakkk

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sistem Zonasi, Sebuah Solusi Pendidikan Indonesia?

21 Juni 2019   00:12 Diperbarui: 25 Juni 2019   06:05 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: instagram @kemdikbud.ri)

Alkisah, hiduplah seorang anak kota bernama Khan. Khan tinggal di pinggiran kota bernama Ciputat, Tangerang Selatan bersama kedua orang tuanya. Bukan, Khan bukan orang kaya apalagi bangsawan, ibunya sehari-hari menjadi buruh cuci di salah satu juragan kaya dan bapaknya ialah satpam di sebuah pabrik tekstil kecil dekat rumah. Syukur alhamdulillah, Khan merupakan murid yang  cerdas, prestasi akademik  di sekolah bisa dibilang oke. 

Sehingga tidak heran di sekolahnya kini ia meraih peringkat nomor 1 UN tertinggi. Segala hal yang Khan lakukan tidak lain  untuk berusaha mengejar mimpinya belajar di SMA negeri "favorit" sehingga mampu masuk ke universitas yang ia dambakan kemudian kerja dengan layak. Motivasi yang sederhana  semata-mata untuk meningkatkan taraf hidup keluarga.

Tahun 2019 ini, Khan berusaha untuk masuk SMA negeri "berdigit" yang berada di Jakarta. Fasilitias yang lengkap, guru-guru bersertifikasi, hingga akreditasi SMA yang tinggi diharapkan mampu memuluskan jalannya menuju kampus impiannya.  Namun sayang seribu sayang, mimpinya kali ini mungkin kandas. 

Sistem zonasi yang ditetapkan pemerintah tahun ini membuat dirinya yang mempunyai kartu Keluarga dan Kepala Keluarga (KK) setempat membuat ia hanya mampu masuk SMA negeri sekitar. Memang ada beberapa temannya yang pindah KK ke Jakarta atau "nitip" nama dengan keluarga di kota untuk bisa masuk sistem zonasi. 

Namun bukanlah hal yang mudah bagi Khan untuk berurusan dengan tetek bengek birokrasi yang sedemikian rupa. Alhasil, Khan kini melanjutkan studinya di SMA yang mungkin bisa dibilang biasa-biasa saja. Setidaknya ia masih bisa berusaha di UTBK 3 tahun ke depan.

Cerita Khan bukanlah cerita asli, namun ia merupakan gambaran mindset warga Indonesia terkait proses pendidikan.

Baru-baru ini ramai terlihat  orang tua yang mengantri dari pagi hanya untuk mendaftarkan anak tersayangnya bersekolah di SMA negeri yang didambakan. Semenjak aturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berdasarkan Peraturan Menteri Kemendikbud nomor 51 tahun 2018, kini PPDB sekolah negeri memiliki kuota minimal 90% melalui zonasi, 5% melalui prestasi (UN), dan 5% melalui perpindahan tugas orang tua. Sistem zonasi sendiri sebenarnya juga diterapkan pada tahun-tahun sebelumnya, namun dengan kuota yang lebih sedikit.

Sistem Zonasi

Seperti yang diketahui melalui laman instagram Kemdikbud RI, sistem zonasi yang diterapkan pemerintah tidak memperhatikan nilai sama sekali namun melalui domisili wilayah tempat tinggal. 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengatakan penerapan sistem zonasi yang dilakukan semenjak 2016 sejatinya memiliki tujuan penting untuk memberikan akses pendidikan kepada semua orang terlepas dari latar belakang maupun golongan. Sistem zonasi juga diharapkam mampu menjadi inisiator dalam pemerataan kualitas pendidikan di berbagai tempat dan lepasnya stigma sekolah "favorit" yang ada. 

Terlepas dari tujuan luhur berdasarkan amanat Pancasila, nampaknya implementasi di lapangan tidak seperti yang diharapkan. Warganet, orang tua, hingga guru pun menanggapi hal ini dengan resah. Berbagai keresahan neitzen saya coba rangkum di bawah ini.

1. Capek-capek belajar, buat apa?

Tidak dapat diabaikan di negara +62 ini aspek kognitif berupa tataran angka masih menjadi sebuah prioritas. Hal ini didukung dengan sistem UN yang masih menjadi evaluasi utama pencapaian pendidikan murid-murid di negeri ini. Masih bersama cerita Khan, di satu sisi terdapat anak bernama Kodir yang bisa dibilang merupakan anak yang prestasinya tidak ada apa-apanya. 

Kesehariannya menjadikan dia sebagai murid yang mendapat cap "anak bandel" dari lingkungannya karena kesulitannya dalam belajar dan sering cabut kelas. Namun karena tempat tinggalnya dekat dengan SMA negeri ternama ia dapat dengan mudah masuk ke SMA negeri "berdigit" favorit yang Khan pun tidak dapat masuki. 

Sekarang mari kita lihat dalam dua kemungkinan yang terjadi. Aspek pemerataan akan muncul dengan memberikan akses bagi anak yang sulit belajar seperti Kodir. Alhasil, Kodir dapat belajar dengan fasilitas yang mumpuni dan membantu Kodir dalam mendidik diri sendiri (idealnya). Kemungkinan kedua ialah perubahan mindset orang tua dan anak terkait sudut pandang mereka dalam melihat pendidikan. 

Ke depannya dikhawatirkan akan ada pandangan bahwa bukan belajar yang menjadi faktor utama, cukup pindahkan kartu KK ke daerah terdekat SMA favorit kemudian sudah. Sulit diprediksi di mana cultural drive ini akan membawa pengaruh kepada sekitar. Namun, akan selalu ada tradeoff dari kebijakan yang diberikan pemerintah. 

2. Mengabaikan fakta lapangan

Diperlukannya evaluasi terkait sistem zonasi terjadi karena implementasi di tiap daerah tidak berjalan dengan baik. Sehingga tidak sedikit kepala daerah seperti di Bogor hingga Surabaya ikut berkomentar terkait sistem zonasi yang diterapkan. Fakta lapangan yang terjadi ialah sedikitnya jumlah sekolah jika dibandingkan dengan peserta didik yang ingin mendaftar. 

Hal ini, dapat mengakibatkan terdapat murid yang tidak dapat bersekolah karen sistem zonasi. Seperti yang terjadi di Bogor, tercatat dalam Data Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kenudayaan, jumlah SDN di Kabupaten Bogor mencapai 1.543 sementara jumlah SMPN hanya 103. Selain terkait jumlah sekolah, fakta lapangan yang diabaikan ialah masalah jarak. 

Hal lucu adalah saat menjadikan "jarak" sebagai dalih ongkos menjadi lebih murah, dengan sistem zonasi, padahal tidak sepenuhnya benar. Bisa saja anak murid malah bertambah jaraknya karena sistem zonasi yang terjadi. Lah, kalau ternyata jarak zonasi lebih jauh dibandingkan SMA di luar zonasi, malah lebih rugi, kan?

3. Sosialisasi masih kurang

Penetapan PPDB terutama sistem zonasi dirasa masih kurang dilakukan sosialisasi. Ombudsman menyatakan berbagai kekisruhan yang terjadi seperti antrian panjang ialah karena kurangnya informasi yang diperoleh orang tua terkait sistem zonasi. 

Padahal, pendaftaran bisa dilakukan secara daring. Ketidakpatuhan lembaga terhadap juknas pemerintah menjadikan pula implementasi menjadi semakin buruk. Bahkan tidak sedikit sekolah negeri yang melenceng dari aturan yang ditetapkan.

4. Infrastruktur Pendidikan

Poin penting terakhir ialah infratruktur pendidikan. Terdapat tujuan mulia pemerintah untuk menjadikan sistem zonasi sebagai langkah awal pemerataan kualitas pendidikan. 

Namun apakah langkah itu sudah sepenuhnya tepat? Timbul pertanyaan jika memang ingin pemerataan kenapa harus sistem penerimaannya yang diganti? Kenapa tidak dimulai dengan infrastruktur sekolahnya terlebih dahulu?

Pemerintah nampaknya telah berusaha mendukung hal itu melalui program redistribusi guru sesuai zoansinya masing-masing setelah PPDB ini. Redistribusi guru diharapkan membuat sekolah-sekolah tertentu tidak hanya dihinggapi oleh guru ASN saja atau honorer saja. Namun, program redistribusi ini perlu juga untuk melihat kesejahteraan para tenaga pendidik yang dipindahkan.

Selain redistribusi guru, nampaknya kesan sekolah favorit akan sulit hilang jika sistem penerimaan universitas negeri juga masih melihat akreditasi sekolah. Alhasil unuk mencapai sebuah keidealan program, banyak hal berupa infrastruktur yang perlu diperhatikan agar terjadi keadilan tanpa pengorbanan. Infrastruktur pendidikan menjadi poin penting agar dalam jangka panjang sistem zonasi dapat lebih mudah diterima.

Revolusi Mental?

Seperti yang telah diceritakan melalui kisah Khan, paradigma cerita Khan nampaknya masih menjadi kendala mengapa bentuk sistem zonasi masih sulit diterima. Selain karena cap "sekolah favorit",  rencana infrastruktur pendidikan yang belum settle dari pemerintah nampaknya juga mejadi alasan murid, orang tua, hingga guru masih belum 100% percaya dengan hal ini. 

Satu hal yang patut diapresiasi ialah tujuan pemerintah dalam menjalankan kebijakan ini sesungguhnya memiliki hal yang positif terutama terkait paradigma proses pendidikan di sekolah. 

Pendidikan merupakan hak semua warga negara tanpa terkecuali, institut bernama sekolah sudah seyogyanya menjadi seorang insan menjadi seorang yang terididik. Jika aspek kognitif berupa nilai dan masuk "sekolah favorit" masih dijadikan tujuan utama proses pendidikan, maka masih pantaskah wadah bernama sekolah ini hadir?

Mari kita pantau terus keberjalanan birokrasi pemerintah dalam proses pendidikan. Sistem zonasi telah lama berlaku, namun keengganan kita dalam menggali informasi dan menutup mata malah menjadikan kita sebagai bom waktu yang hanya akan meledak pada waktunya. 

(Update, sejauh ini pemerintah akan berusaha untuk mengevaluasi peraturan sistem zonasi)

Saya sebagai mahasiswa sangat terbuka dengan masukan dan saran. Terima kasih

Sumber: kompas.com; tirto.id; tribunnews.com; liputan6.com; cnnindonesia.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun