1. Capek-capek belajar, buat apa?
Tidak dapat diabaikan di negara +62 ini aspek kognitif berupa tataran angka masih menjadi sebuah prioritas. Hal ini didukung dengan sistem UN yang masih menjadi evaluasi utama pencapaian pendidikan murid-murid di negeri ini. Masih bersama cerita Khan, di satu sisi terdapat anak bernama Kodir yang bisa dibilang merupakan anak yang prestasinya tidak ada apa-apanya.Â
Kesehariannya menjadikan dia sebagai murid yang mendapat cap "anak bandel" dari lingkungannya karena kesulitannya dalam belajar dan sering cabut kelas. Namun karena tempat tinggalnya dekat dengan SMA negeri ternama ia dapat dengan mudah masuk ke SMA negeri "berdigit" favorit yang Khan pun tidak dapat masuki.Â
Sekarang mari kita lihat dalam dua kemungkinan yang terjadi. Aspek pemerataan akan muncul dengan memberikan akses bagi anak yang sulit belajar seperti Kodir. Alhasil, Kodir dapat belajar dengan fasilitas yang mumpuni dan membantu Kodir dalam mendidik diri sendiri (idealnya). Kemungkinan kedua ialah perubahan mindset orang tua dan anak terkait sudut pandang mereka dalam melihat pendidikan.Â
Ke depannya dikhawatirkan akan ada pandangan bahwa bukan belajar yang menjadi faktor utama, cukup pindahkan kartu KK ke daerah terdekat SMA favorit kemudian sudah. Sulit diprediksi di mana cultural drive ini akan membawa pengaruh kepada sekitar. Namun, akan selalu ada tradeoff dari kebijakan yang diberikan pemerintah.Â
2. Mengabaikan fakta lapangan
Diperlukannya evaluasi terkait sistem zonasi terjadi karena implementasi di tiap daerah tidak berjalan dengan baik. Sehingga tidak sedikit kepala daerah seperti di Bogor hingga Surabaya ikut berkomentar terkait sistem zonasi yang diterapkan. Fakta lapangan yang terjadi ialah sedikitnya jumlah sekolah jika dibandingkan dengan peserta didik yang ingin mendaftar.Â
Hal ini, dapat mengakibatkan terdapat murid yang tidak dapat bersekolah karen sistem zonasi. Seperti yang terjadi di Bogor, tercatat dalam Data Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kenudayaan, jumlah SDN di Kabupaten Bogor mencapai 1.543 sementara jumlah SMPN hanya 103. Selain terkait jumlah sekolah, fakta lapangan yang diabaikan ialah masalah jarak.Â
Hal lucu adalah saat menjadikan "jarak" sebagai dalih ongkos menjadi lebih murah, dengan sistem zonasi, padahal tidak sepenuhnya benar. Bisa saja anak murid malah bertambah jaraknya karena sistem zonasi yang terjadi. Lah, kalau ternyata jarak zonasi lebih jauh dibandingkan SMA di luar zonasi, malah lebih rugi, kan?
3. Sosialisasi masih kurang
Penetapan PPDB terutama sistem zonasi dirasa masih kurang dilakukan sosialisasi. Ombudsman menyatakan berbagai kekisruhan yang terjadi seperti antrian panjang ialah karena kurangnya informasi yang diperoleh orang tua terkait sistem zonasi.Â