Mohon tunggu...
Alvi Anugerah
Alvi Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis jika sedang menggebu-gebu

Humaniora Universal.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bagaimana Seharusnya Media Hindari Cibiran "Menjual Kesedihan"

31 Desember 2018   03:07 Diperbarui: 2 Januari 2019   10:57 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media akan viral bila menjual konten tentang kesedihan. Anggapan itu terlanjur hinggap di alam sadar orang-orang yang mengkonsumsi sekaligus skeptis dengan media di waktu yang bersamaan. Dengan memuat/menayangkan cerita-cerita yang bikin haru penonton/pembacanya, media akan dapat rating bagus. Pageviews-nya naik. imbasnya, permintaan placement iklan bertambah yang berimplikasi pada pemasukan media itu. Begitu katanya siklus hidup media berputar.

Gue pernah terlibat di dalam siklus bisnis itu: jadi content maker di sebuah stasiun televisi masa kini. Bergulat dengan waktu & keadaan bagaimana kami harus menyajikan konten yang enggak cuman inspiratif, tapi juga punya nilai jual yang membuat para brand ngisi slot iklan di TV kita.  

Tapi, faktanya adalah: enggak melulu tiap konten sedih & dramatis di tv itu jadi bahan jualan kok. Salah satu buktinya adalah program dengan rating/share paling tinggi di tv tempat gue kerja saat itu adalah program reality documentary "86". Bukan program sedih-sedihan atau program yang sengaja didramatisir.

Ada pula pihak-pihak yang beranggapan kalau masyarakat di Indonesia nggak punya pilihan untuk menikmati konten-konten bermutu dan mendidik. Ada dua respon gue dari anggapan tersebut:

  1. Apa dasar & risetnya sampai bisa menyimpulkan kalo konten menyedihkan dan dramatis yang diproduksi media itu tidak bermutu dan kurang mendidik?

  2.  Nggak cuman masyarakat Indonesia yang doyan dengan konten sedih-sedihan. Survei di negara maju seperti Amerika Serikat yang pilihan kontennya lebih beragam membuktikan kalo konten dramatis & menyedihkan itu jadi konten yang memberikan dampak baik dari sisi psikologi.

    Source: theguardian.com
    Source: theguardian.com

    Survei yang dilakukan peneliti dari Universitas Oxford (diulas di portal berita The Guardian) menyimpulkan bahwa menonton tayangan yang traumatis akan meningkatkan rasa toleransi kolektif terhadap rasa sakit. Menonton tayangan-tayangan drama dan derai air mata bahkan meningkatkan kadar endorfin yang diproduksi. Ternyata, endorfin berfungsi sebagai penghilang rasa stres dan meningkatkan perasaan bahagia. Kadar endorfin bahkan membuat seseorang merasa lebih dekat dengan orang lain.

Memang, adagium "media menjual kesedihan" itu patut jadi masukan bagi para pemangku media. Bagaimanapun, media punya tugas moral memberikan value pada setiap konten-konten yang diproduksi. Value yang berdampak langsung bagi objek yang ia jadikan konten. Value yang juga berdampak langsung bagi para pemirsa dan pembacanya. 

Bangun Kedekatan Lewat Gotong Royong Online

Source: Jarmoluk via pixabay.com
Source: Jarmoluk via pixabay.com
Menjadi platform bagi siapapun yang ingin menggalang dana dan berdonasi membuat kitabisa.com didatangi banyak sekali cerita-cerita menarik & inspiratif, hampir setiap hari. Cerita-cerita itu lantas kami olah menjadi sebuah konten agar orang-orang yang menyimak konten itu bisa ikut membantu penggalang dana dengan cara berdonasi.  

Tak hanya itu, cerita-cerita menarik para penggalang dana pun kami sodorkan ke media. Tak sedikit media yang merasakan cerita para penggalang dana di Kitabisa mengandung news value yang selaras dengan napas perusahaan mereka. 

Menariknya, media-media itu nggak hanya mengangkat cerita penggalang dana, tetapi juga membantu para penggalang dana supaya target donasinya tercapai dengan cara mengajak para pemirsanya untuk berdonasi. Dampaknya nggak main-main. 

Source: Channel Youtube Ini Talkshow
Source: Channel Youtube Ini Talkshow
Program Ini Talkshow di NET. pernah mengundang Laila Sari. Di segmen itu, Laila menjelaskan nasibnya sebagai seorang seniman di hari tua. Segmen mendiang Laila memang membikin haru biru bagi pemirsa yang menonton. Tapi, tim produksi Ini Talkshow tak puas dengan selesai di haru biru. Ini Talkshow membuka penggalangan dana online yang ditujukan untuk Laila Sari sebagai kado di hari tuanya. Dahsyatnya, dari target 10 Juta yang dipatok, uang yang terkumpul mencapai 148 juta rupiah. 

Source: Channel Youtube Ini Talkshow
Source: Channel Youtube Ini Talkshow

Memang, tak lama kemudian Laila Sari akhirnya dipanggil yang maha kuasa. Sesuai amanat Laila sebelum meninggal, uang donasi diserahkan kepada cucu beliau. Kabar terbaru, NET. menyerahkan alokasi dana donasi untuk cucu almarhumah kepada Dompet Dhuafa agar semuanya transparan dan terimplementasi.

Source: Channel Youtube
Source: Channel Youtube
Ini Talkshow juga pernah mengundang seorang wanita yang berprofesi sebagai penjual gorengan namun punya tekad kuat  membangun panti asuhan untuk anak-anak yatim piatu. 

Di segmen itu, Imas dengan nada bicara yang sendu menceritakan cibiran dan anggapan sebelah mata orang-orang terhadap niatnya membangun panti itu. Larut dalam haru acara, pemirsa Ini Talkshow lantas berdonasi untuk membantu mewujudkan mimpi Imas membangun panti. Hasilnya luar biasa. Dana 100 Juta terkumpul kurang dari 24 jam. Penggalangan dana akhirnya ditutup ketika menyentuh angka 241.920.186 rupiah. 

source: Dokumentasi Pribadi Ibu Imas
source: Dokumentasi Pribadi Ibu Imas

Kini, panti asuhan itu bukan lagi mimpi. Proses pembangunan panti masih terus berlangsung. 

Source: Program Ini Talkshow NET.
Source: Program Ini Talkshow NET.
Sule dan Andre pun pernah mengundang Tio, seorang anak berusia 10 tahun yang tengah membutuhkan biaya untuk cangkok ginjal. Tio datang bersama ibunya yang diketahui akan mendonorkan ginjalnya untuk Tio. Dokter yang menangani Tio pun ikut diundang karena membuat penggalangan dana online untuk membantu pasiennya. 

Source: Program Ini Talkshow NET.
Source: Program Ini Talkshow NET.
Meskipun dalam keadaan sakit, Tio tetap terlihat ceria. Senyumnya terpancar ke segala penjuru studio yang menayangkan kisahnya secara live. Sule pun begitu antusias melihat sikap Tio demikian. Pemirsa Ini Talkshow dan orang-orang baik di luar sana pada akhirnya tergerak untuk membantu Tio. 

Hingga penggalangan dana ditutup, tak kurang dari 200 juta donasi yang masuk untuk membantu biaya cangkok ginjal Tio. Bahkan, biaya cangkok ginjal untuk Tio juga akan didistribusikan ke pasien-pasien lain yang membutuhkan.

Source: Kitabisa.com/budibilal
Source: Kitabisa.com/budibilal
Program "Newsline" di Metro TV pun rutin mengangkat kisah orang-orang yang terkendala dengan biaya medis. Contohnya adalah kisah Budi, seorang anak berusia 11 tahun yang harus merawat kakaknya, Bilal yang berumur 16 tahun dan menderita lumpuh.

Lewat skype dan disiarkan secara Live oleh Metro TV, Budi menceritakan bagaimana perjuangannya sehari-sehari sendirian memandikan dan menyuapi kakaknya yang tergolek lemah tak berdaya. Budi & Bilal pun tinggal di rumah yang kondisinya memprihatinkan. Nenek yang dari dulu merawat mereka berdua sudah meninggal sejak tahun 2014. 

Source: video.metrotvnews.com
Source: video.metrotvnews.com
Tak butuh waktu sampai 7 hari, simpati berdatangan untuk Bilal dan Budi dari pemirsa Metro TV. Galang dana yang diinisiasi oleh program Newsline Metro TV berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 107.677.295. Hari ini, kondisi Bilal terus membaik. Ia terus melakukan terapi rutin supaya gerak tubuhnya bisa normal. Sementara Budi sudah duduk di bangku MTs. Rumah Budi & Bilal pun kini jauh lebih layak untuk dihuni.

Tak hanya untuk Bilal dan Budi. Sepanjang tahun 2018, program Newsline Metro TV tercatat telah mengangkat 20 campaign penggalangan dana ke acara mereka secara live dan mengumpulkan donasi tak kurang dari 2 Miliar rupiah jumlahnya.    

Source: ekonomi.kompas.com
Source: ekonomi.kompas.com
Media online juga gak ketinggalan dalam urusan beginian. Ambil contoh kompas.com yang mengangkat kisah pasangan lansia di Jogjakarta yang dengan kehidupan pas-pasan harus merawat anak lelakinya yang mengidap down syndrome. Setiap harinya, pasangan itu harus mengantar anaknya belasan kilometer menggunakan onthel untuk menuju ke sekolah. Kondisi rumah mereka pun sungguh memprihatinkan. 

Lewat penggalangan dana online, Kompas.com menggerakkan hati 954 pembacanya untuk berdonasi membantu pasangan lansia dan anaknya itu. Di fase awal penggalangan dana, kurang dari 30 menit dana yang terkumpul mencapai 20 juta rupiah. Hingga akhirnya penggalangan dana ditutup, dana yang terkumpul mencapai Rp 210.046.594.

Kini, proses pembangunan rumah untuk pasangan lansia itu baru saja rampung. 

source: dokumentasi tim kompas.com
source: dokumentasi tim kompas.com
Ilustrasi: news.detik.com
Ilustrasi: news.detik.com
Detikcom juga pernah melakukan upaya serupa. Berawal dari laporan kontributornya tentang proses pembangunan jembatan di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan Yang mangkrak. Anak-anak SD harus rela menyeberang berbasah-basah melewati aliran sungai yang deras. Secara intens, Detik terus memberitakan bagaimana keberadaan jembatan tersebut diperlukan sebagai penunjang kegiatan warga di sana.

Ilustrasi: news.detik.com
Ilustrasi: news.detik.com
Detik lantas mengajak para pembacanya untuk patungan online melanjutkan pembangunan jembatan mangkrak tsb. Hasilnya menggembirakan. Sebanyak 729 pembaca Detikcom mengumpulkan donasi sebesar Rp 206.386.388 agar pembangunan jembatan itu bisa dilanjutkan.

Hari ini, jembatan itu telah menghubungkan kedua desa yang sebelumnya dipisah arus sungai nan deras. Tak hanya untuk jembatan, donasi yang terkumpul juga digunakan untuk pembangunan talaud. 

Cerita-cerita galang dana online yang dilakukan media tersebut menunjukkan terciptanya sebuah simbiosis mutualisme: media membutuhkan konten yang inspiratif & menggugah hati agar pemirsanya bisa menikmati, penggalang dana yang sedang membutuhkan biaya akhirnya bahagia karena para pemirsa membantunya dengan cara berdonasi. 

Cara ini adalah kolaborasi baik yang juga bisa jadi bukti valid bahwa media bukan lagi menjual kesedihan demi meraup sejumlah keuntungan. Yang dilakukan media justru upaya mengkonversi kesedihan jadi berita baik dan inspiratif dengan cara melibatkan pemirsa sebagai orang-orang baiknya. Hal ini juga bisa jadi cara mengukur tingkat engagement pemirsa dengan medianya. Jika donasi yang terkumpul dalam waktu singkat itu melesat cepat, salah satu indikator bahwa pemirsa tersentuh dan tergerak hatinya untuk membantu konten media yang dikonsumsinya. 

Dengan cara demikian,  cibiran "media menjual kesedihan" seharusnya tak ada lagi di tahun 2019 dan tahun-tahun selanjutnya. Semoga begitu.

Alvi Anugerah

PR Person at Kitabisa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun