Mohon tunggu...
Alviansyah Putra Indrayadi
Alviansyah Putra Indrayadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - masyarakat biasa

belajar menyampaikan opini

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Gratis, Apakah Realistis?

20 Oktober 2021   22:26 Diperbarui: 20 Oktober 2021   22:48 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Seorang Anak yang Ingin Bisa Merasakan Bangku Sekolah, Namun Terkendala Biaya. Foto: Aaron Burden/Unsplash 

Indonesia sebagai negara yang besar terus mengalami pertumbuhan penduduk. Tahun 2021 saja, berdasarkan data yang dikutip dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Detikcom, tercatat Indonesia mengalami laju pertumbuhan pendudukan sebesar 0,98% dengan jumlah penduduk tak kurang dari 273,5 juta jiwa. 

Angka tersebut membawa Indonesia termasuk ke dalam lima besar negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia.

Seiring dengan banyaknya penduduk Indonesia, maka tuntutan masyarakat kepada pemerintah juga kian kompleks tak terkecuali soal pendidikan. Bukan tanpa alasan, sebagian masyarakat meyakini pendidikan adalah salah satu jalan memperbaiki kualitas hidup. 

Pendidikan sebagai suatu investasi yang paling menjanjikan masih diyakini sebagian masyarakat yang lain. Namun yang lebih luas dan penting untuk digarisbawahi ialah pendidikan sebagai kunci penentu maju atau tidaknya suatu peradaban sehingga keberadaannya begitu urgen untuk diperhatikan.

Menyoal pendidikan publik tentu sudah tidak asing dengan wacana sekolah gratis. Wacana ini sudah beberapa kali didengungkan bahkan acap menjadi satu dari sekian program unggulan kampanye calon presiden di ajang lima tahunan. 

Tetapi yang menjadi pertanyaan, realistiskah wacana tersebut? Mari kita bahas dengan mengulas beberapa poin berikut secara khusus dari sudut pandang negara sebagai pihak tertinggi penyelenggara pendidikan.

Pertama, konstitusi Indonesia –UUD 1945–  telah mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara tanpa ada diskriminasi dalam segala bentuk dan pemerintah wajib membiayainya. Karenanya kita sepakat bahwa pendidikan harus menjadi program prioritas pemerintah. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas jalannya proses pendidikan telah mengupayakan wajib belajar 12 tahun melalui Program Indonesia Pintar (PIP). 

Tujuan dari semua ini tak lain ialah mewujudkan cita-cita luhur para founding fathers yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Selain untuk memperbaiki hidup dan kehidupan, kualitas sumber daya manusia adalah modal utama menghadapi arus persaingan global yang semakin ketat.

Kedua,  dalam UUD 1945 pula dinyatakan bahwa negara harus menganggarkan untuk pendidikan sekurang-kurangnya seperlima dari anggaran pendapatan dan belanja baik negara (APBN) maupun daerah (APBD). Meski DPR bersama pemerintah sepakat akan hal tersebut, tetapi realisasinya masih ‘jauh panggang dari api’. 

Bagaimana tidak? Saat ini negara masih memiliki beban hutang yang tak sedikit jumlahnya baik yang berasal dari warisan maupun di masa pemerintahan. Terlebih di situasi pandemi seperti saat ini. 

Menyikapi situasi tersebut Syaiful Huda, Ketua Komisi X DPR RI, dalam agenda refocusing anggaran bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengingatkan bahwa alokasi 20 persen adalah kewajiban negara dan tidak boleh dipotong dengan segala alasan.

Keadaan Indonesia seperti saat ini memaksa pemerintah agar sebisa mungkin menekan pengeluaran. Banyak anggaran yang disunat untuk dialihkan dalam upaya percepatan penanganan pandemi. Pemotongan juga terjadi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Akan tetapi pemotongan tersebut bukan pada sektor sekolah atau kegiatan belajar mengajar melainkan pada anggaran perjalanan dinas dan pelatihan. 

Meski demikian, dalam hal ini, komitmen pemerintah sebagaimana disampikan Menteri Keuangan untuk tidak mengobok-obok porsi anggaran pendidikan di tengah pandemi yang masih berlangsung perlu untuk diapresiasi.

Ketiga, meski pemerintah telah menjadikan pendidikan sebagai program prioritas namun fakta menunjukkan bahwa angka putus sekolah di Indonesia masih relatif tinggi. 

Dari artikel bertajuk “Angka Putus Sekolah yang Masih Tinggi di Indonesia” tulisan Hamidah Nurhayati diperoleh data bahwa berdasarkan lembaga PBB yang bergerak di bidang anak-anak UNICEF pada tahun 2016 terdapat sekitar 2,5 juta anak putus sekolah. 

Penyebab dari terjadinya putus sekolah beragam. Mulai dari akses dan ketersediaan infrastrukur pendidikan hingga masalah ekonomi. Dalam hal ini mari kita sorot faktor ekonomi.

Ekonomi adalah satu dari banyak faktor penyebab siswa tidak melanjutkan sekolahnya. Tambahan, bahwa jumlah putus sekolah di dominasi oleh masyarakat desa. Hal ini tentu sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat pedesaan yang rata-rata berada pada kategori menengah ke bawah.

Kondisi tersebut diperparah oleh pandemi dengan tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang berimbas pada meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan.

Siswa yang putus sekolah memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Bahkan beberapa dari mereka memilih untuk menikah dini. Pihak kementerian pun membenarkan bahwa angka angka putus sekolah di masa pandemi ini naik secara signifikan hingga 10 kali lipat. 

Miris dan sangat disayangkan ketika para calon penerus bangsa yang memiliki semangat tinggi untuk belajar dan berprestasi harus mengubur dalam-dalam mimpinya hanya karena soal ekonomi.

Presiden Soekarno pernah mengatakan, “seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu pemuda dapat mengubah dunia”. Apa artinya? Ketika bangsa ini menghendaki perubahan, maka pemuda harus berada di baris paling depan. 

Lalu, bagaimana perubahan di Indonesia ini akan terjadi kalau generasi mudanya saja putus sekolah?

Konklusinya, apabila dikembalikan pada pertanyaan awal mengenai realistis atau tidaknya wacana sekolah gratis maka jawabannya adalah tidak. Jawaban tersebut sekali lagi jika dilihat dari sudut pandang pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan di Indonesia. 

Sebelum pandemi menerpa saja, kebijakan ini tampak sukar untuk direalisasikan. Terlebih di masa pandemi beban yang ditanggung pemerintah semakin berat. Namun komitmen pemerintah untuk tetap memprioritaskan pendidikan meski di tengah kondisi yang serba tak pasti ini agaknya juga perlu diapresiasi. 

Pada akhirnya, meski wacana ini jauh dari kata realistis kita sebagai masyarakat Indonesia tetap harus berusaha dan tak lupa berdoa memohon pada Tuhan yang Mahakuasa agar segala upaya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa selalu mendapat kemudahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun