Bintang-bintang bergentayangan waktu malam
purnama menyalak pada hening yang perkasa
dan ilalang melambai....
Wajahmu melambai-lambai pada galah tertinggi
Ingatanku terpelanting...
Rebah pada peluk kemarau
Peluk mu...
3 tahun yang lalu....
Ketika seluruh penjuru uratku kau bakar
Lidah ku menjadi lidah api
Tangan-tangan ku menjadi tangan-tangan api
mengepak menghalau kabut
mata ku menjadi mata api
Meronda tiap sudut
tiap tembok
Tiap-tiap penjuru tubuhmu
Dan suaramu...
Kini hanya dengung...
Yang di pantulkan tebing-tebing besi
yang di cor dari air mata dan keringat para kuli
Dan wajahmu...
Tinggal poster terlindas mesin pembangunan
yang di bangun di atas gubuk para petani yang kurus dan tua.
Hidup adalah ketentuan yang tak bisa kita tawar
Yaaa...
Demekianlah zaman terlahir
Tercipta dari air mata
Terbentuk dari harapan dan doa
Sedang reqium di nyanyikan di mana-mana
Suaranya mirip suara halilintar
Mirip suara sejuta meriam
Mirip suara orang marah-marah
Mirip suara orang menahan lapar
Mirip suara orang yang sekarat
Mirip suara seorang pacar
Mirip suara mu...
Dan bayangan dirimu....
melambai-lambai....
bergentayangan bersama bintang waktu malam
Menunggu sirna waktu fajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H