Mohon tunggu...
Achsinul Arfin
Achsinul Arfin Mohon Tunggu... Freelancer - Suka membaca dan menulis

Suka menulis, baca buku, review buku, serta semangat belajar dalam hal literasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jasa Tanpa Balas

23 Desember 2022   16:20 Diperbarui: 23 Desember 2022   16:25 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pexels.com/igorpaltov

Tampak dari jauh Bapak hanya tersenyum melihat aku dan Ibu. Mungkin secara tidak sadar saking gemesnya ibu melumuri wajahku dengan lumpur, padahal aku sedang mengenakan kemeja putih.

***

Singkat cerita setelah menunggu pekerjaan Ibu dan Bapak selesai kami bertiga pulang ke rumah, tampak tidak ada perubahan sama sekali, kamarku pun masih bersih dan tertata rapi seperti saat aku tinggalkan sebelumnya.

Karena dirasa sudah cukup untuk berbincang-bincang akhirnya aku pun pergi ke kamar untuk tiduran, tapi sayup-sayup terdengar suara bapak dan ibu sedang mengobrol.

"Pak, aku tidak enak jika harus membicarakan hal ini kepada anak kita, aku tidak tega apabila bilang dia harus berhenti untuk kuliah."

"La bagaimana lagi, kita sudah tidak mampu untuk membiayai keperluannya."

Sontak rasa kantuk yang menyelimutiku hilang seketika, jadi sebenarnya mereka sudah tidak kuat membiayai kehidupanku di kota.

Angan-angan wisuda, kebersamaan dengan teman-teman tiba-tiba tersebut menyeruak, akankah semua berakhir di sini. Aku mulai termenung,  tanpa terasa meneteskan air mata. Mungkinkah aku selama ini menjadi beban bagi kedua orangtuaku?

Rupanya tanpa terasa di tengah-tengah termenung tiba-tiba rasa kantuk datang dan mulai merampas kesadaranku.

Aku menunggu di antara Bapak dan Ibu membangunkanku, tapi kenyataannya tidak ada, hingga pagi menjelang.

Karena tidak ada seorangpun yang membangunkan, akhirnya aku berinisiatif untuk mandi kemudian jalan-jalan ke sawah, menyambangi kedua orang tuaku yang sudah berada di sana. Kami ngobrol ngalor ngidul, banyak yang kami bicarakan, hingga akhirnya Ibu mengatakan apabila sawah satu-satunya milik keluarga kami sebagian dijual ke Pak Wiriya, salah satu tetangga kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun