Mataku sembab dan riuk tangis pecah ketika melihat ibu berada di hadapanku, dia tersenyum menangis sambil membelai wajahku.
"Anak ibu tidak boleh cengeng." pintanya.
Seorang ibu bisa menguatkan hati anaknya yang sedang rapuh, entah belajar sihir dari mana tiap perkataannya selalu memenangkan hati, bahkan ketika hati ini sedang remuk.
Aku yang kala itu menempuh pendidikan di kota jarang sekali pulang, memang beberapa kali ibu sempat menelpon, apakah tidak ada keinginan untuk liburan di rumah seusai semester?
Sebenarnya aku tidak ingin pulang, karena di pedesaan begitu membosankan, ketika malam menjelang suasana menjadi lebih sepi, hanya  suara jangkrik yang meramaikan. Sedangkan di kota, meski sudah menunjukkan jam satu dini hari tetap ramai, hiruk pikuk kendaraan dan canda tawa masih nyaring bunyinya.
Setelah beberapa kali negosiasi akhirnya aku mau untuk pulang, dan dari suara telepon di seberang sepertinya ibuku terdengar riang gembira, bahkan sambil sedikit tertawa mengabarkan kepada Bapak kalau aku akan pulang di minggu ini.
Waktu yang dinantikan tiba. Jarak tempuh dari kota ke desa kulalui selama dua jam perjalanan, sesampai di depan rumah kuketuk pintu beberapa kali, tapi nihil, tidak ada jawaban, hingga akhirnya aku pergi ke sawah untuk memastikan keberadaan Ibu dan Bapak..
Ternyata benar, mereka masih di sawah untuk tandur padi, tapi ada yang aneh, biasanya seluruh sawah ditanami tanaman sejenis, akan tetapi pemandangan yang kulihat berbeda, karena sebagian sawah kami ditanami jagung, hal tersebut diluar kebiasaan Ibu dan Bapak.
Ketika melihatku di samping sawah, Ibu yang sadar atas kedatanganku langsung berlari  dan memeluk tubuh anaknya yang beberapa bulan tidak pulang kampung.
Dekapan yang ditujukan untukku sangat menenangkan, mungkin inilah yang membuatku rindu untuk pulang, meski awalnya kutolak.