SURABAYA - Bertempat di Graha Pena Jawa Pos Lantai 3 Surabaya, anggota DPRD Komisi E Provinsi Jawa Timur Moch Eksan memberi sambutan guna memotivasi ratusan peserta "Lomba Menulis Esai Bagi Komunitas Baca Se Jawa Timur". Sabtu (20/10/2018).
Dihadapan ratusan peserta yang didominasi generasi muda, Eksan menyampaikan media sosial adalah media mainstream. Media yang telah meruntuhkan industri informasi, baik cetak, elektronik maupun online.
"Semua bisnis media mengeluh, oplah, rating, pembaca, pendengar, pemirsa dan masyarakat media, mengalami penurunan drastis. Banyak yang beralih pada media sosial yang berbasis pertemanan dan citizen jurnalism  (jurnalisme warga). Kendati, euforia media sosial ini menyebabkan maraknya berita hoax, yang mengharuskan pemilik akun media sosial selektif, untuk menghindari dampak negatif," jelas Pria kelahiran Jember ini.
Kemudian ia melanjutkan, kasus ujaran kebencian, berita bohong, amuk massa, mengerasnya politik aliran, konflik horizontal, dan menguatnya ancaman disintegrasi bangsa, dampak negatif dari kebebasan berpendapat yang belum terkonsolidasi dengan baik.
"Hal tersebut membuat pemilik akun media sosial belum mampu mendayagunakan media sosial sebagai sarana komunikasi dan informasi yang sehat dan bermanfaat untuk membangun harmoni dan integrasi bangsa," lanjutnya.
Wakil Ketua bidang Agama dan Masyarakat Adat DPW Partai NasDem Jatim itu menilai, Akal yang sehat dan hati yang bersih, tetap menjadi parameter dari euforia media sosial tersebut.
"Semua bermaksud untuk menghindari anak bangsa dari fitnah besar informasi yang sarat akan propaganda, dan bias kepentingan bangsa lain, serta perang media antar bangsa di dunia," ucap Moch Eksan.
Ia mengutip sebuah perkataan Sayyid Quthub, seorang ideolog Ikhwanul Muslimin Mesir, penulis Tafsir Fi Dhilalil Quran yang mengatakan, satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus jutaan kepala.
"Ungkapan ini mengisyaratkan pentingnya kemampuan dan keterampilan menulis untuk memandu kebudayaan dan peradaban bangsa, termasuk menulis status di media sosial," jelas Anggota DPRD Provinsi Jatim fraksi NasDem ini.
Sementara saat ini, menjamurnya status di media sosial, sejatinya bisa menjadi ladang jihad untuk berkampanye apapun, termasuk ideologi Pancasila, Islam Rahmatan Lil Alamin, antiterorisme dan radikalisme, kebhinekaan, konstitusi negara dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Artinya, setiap umat dan anak bangsa punya kewajiban untuk menguasai narasi besar di media sosial. Jangan sampai kelompok kecil dari masyarakat yang malideologi, malkultural, dan malsosial justru bebas dan leluasa mengkampanyekan ideologi, kultur dan sosial yang bertentangan dengan arus besar negeri ini. Sehingga, media sosial menjadi ajang mengkampanyekan ideologi kekerasan, pornografi, pornoaksi dan perilaku menyimpang lain dalam arus informasi di media sosial tersebut," tandas Eksan.
Tidak hanya itu, menurut Wakil Ketua PCNU Jember, saat ini manusia dihadapkan dengan "perang qolam" (perang pena), perang status, perang ide, yang menguasai jagad media sosial hari ini.
"Untuk memenangkan narasi besar tersebut, maka segala ikhtiar apa pun yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan menulis, serta menguatkan jaringan intelektual antar aktivis media sosial, merupakan syarat rukun untuk meraih kemenangan," jelasnya.
Seperti halnya Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin di bab Ilmu mengungkapkan, bahwa tinta dari pena penulis kelak akan di timbang di hari kiamat dengan darah dari para syuhada di medan perang.
"Bahkan, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan, bahwa setetes tinta dari penulis lebih utama daripada setetes darah syuhada. Beberapa ungkapan hikmah tersebut, mengisyaratkan keutamaan perang qolam dalam media sosial," ujar mantan aktivis HMI itu.
"Pasukan maya harus berada di garda terdepan dalam menghadapi Islamophobia dan Indonesiaphobia, yang tak menghendaki umat Islam Indonesia menjadi episentrum peradaban dunia," katanya.
Oleh sebab itu, Pelatihan, lomba dan penganugerahan karya tulis, merupakan bagian ikhtiar membumikan tradisi literasi yang kuat. Tradisi ini untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan membaca, berhitung, menulis dan memecahkan masalah.
"Disamping itu, tradisi positif ini akan menjadi penopang bagi daya saing bangsa dalam pergaulan dunia yang damai dan berkeadilan sosial," ujar Moch Eksan.
Untuk diketahui, tradisi literasi sebagai upaya pemberantasan buta aksara, angka melek huruf, dan produktifitas intelektual anak bangsa. Pasalnya bangsa ini masih menghadapi problematika literatif akut.
Di antaranya, pertama Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, bahwa terdapat 3,4 juta atau setara dengan 2,07 persen dari penduduk Indonesia yang mengalami buta aksara. Terutama di 11 Propinsi, termasuk di Jawa Timur yang buta aksaranya tertinggi secara nasional, 880 ribu atau setara dengan 3,47 persen. Penduduk yang mengalami buta aksara berusia antara 15 sampai dengan 59 tahun.
Kedua, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengklaim telah berhasil membuat 160 juta lebih penduduk Indonesia melek huruf. Â Pada 2005 lalu, Perserikatan Bangsa-bangsa pernah merilis, peringkat melek huruf negara-negara di dunia. Indonesia menduduki peringkat ke-85, di bawah Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina dan Brunei di kawasan Asean.
Ketiga, Wikipedia merilis data jumlah buku yang diterbitkan oleh negara-negara per tahun. Pada 2009, di Indonesia hanya terdapat 24 ribu buah buku yang terbit, baik buku baru, buku edisi baru, atau buku yang diterbitkan ulang. Sementara yang tertinggi adalah China, yang dapat menerbitkan 440 ribu buah buku pada 2013. Diperingkat kedua dan ketiga, adalah Amerika Serikat dan Inggris. Masing-masing, 304 ribu pada 2013, dan 184 ribu pada 2011.
Oleh karena itu, Eksan menutup sambutannya, problematika literatif di atas harus diselesaikan oleh semua pihak. Pemerintah, pesantren, sekolah, kampus, guru, dosen, civitas akademika, pemerhati pendidikan dan masyarakat umum, bersama-sama menumbuh-kembangkan budaya membaca, budaya menulis, dan budaya diskusi untuk menguatkan tradisi literasi di Tanah Air.
"Maka, seluruh elemen anak bangsa, harus merubah mindset, bahwa menulis bukan profesi, bukan hobi, akan tetapi ia adalah aktualisasi diri. Ada atau tidaknya diri kita, bergantung pada karya tulis di media sosial yang ada. Jadi ia menegaskan, Aku ada karena aku menulis," pungkas Pendiri Eksan Institute ini. (ATH)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H