Kompasiana.com - Selalu saja ada hal menarik yang bisa kita cermati di media sosial hari ini. Pasalnya, hampir setiap orang yang telah mampu menguasai sarananya bisa menjadi jurnalis. Dalam istilah media informasi modern bisa disebut "Citizen Journalist" atau "Netizen" yang bisa diartikan "pewarta warga" atau "warganet". Fenomena jurnalisme netizen ini popularitasnya boleh dianggap jauh melampaui media cetak, dan dari sisi kecepatan informasi, ia lebih unggul daripada media online.
Kenapa begitu?
Iya, karena jurnalis netizen tidak harus membutuhkan skill khusus seperti yang dimiliki para jurnalis pada umumnya. Mereka tidak harus memiliki kemampuan menulis jurnalistik dengan benar, tidak perlu mengetahui tentang diksi, gramatika, logika kata, logika kalimat dan etika jurnalistik serta kode etik jurnalistik.
Oleh karena itu, mereka menjadi jurnalis di media sosial cukup dengan syarat sederhana, misal seperti, wajib mempunyai akun facebook, memiliki kemampuan menulis ala kadarnya, ditambah mereka harus memiliki jari untuk menekan tombol. Ya, hanya itu. Tiga kemampuan sederhana itu cukup membuat siapa saja bisa menjadi Citizen Journalist atau Netizen.
Melalui media sosial, mengkritisi kinerja pemerintah juga bisa dilakukan kapan saja. Jika menemukan jalan rusak, layanan buruk dari suatu instansi cukup difoto lalu upload ke facebook. Mereka bisa memberikan informasi apa saja selama bisa di jangkau mata, mulai dari kegiatan sosial budaya, pendidikan, keagamaan, politik, jalan berlubang, kecelakaan lalu lintas, kebakaran dan peristiwa kriminal.
Artinya, apa saja yang bisa diunggah ke medsos akan dijadikan bahan berita. Nah, dampak dari satu postingan itu pun luar biasa, bahkan bisa mengundang ribuan komentar, like, dan berpotensi di share oleh banyak orang. Bukankah itu jelas jauh lebih dahsyat dibandingkan berita-berita yang muncul media cetak dan media elektronik televisi?
Berbanding jauh 180 derajat dengan jurnalis sejati yang penuh perjuangan dalam mengumpulkan data, mengolah berita, hingga masuk tahap memproduksi berita. Membuat berita versi jurnalisme netizen cukup sederhana. Di sejumlah grup-grup facebook, misalnya, netizen tak perlu melakukan konfirmasi ke pihak terkait sekaligus memastikan akurasi data, mereka cukup menuliskan peristiwa yang terjadi, tempat kejadian, dan mencantumkan tanggal peristiwa.
Berbagai grup medsos yang ada di facebook, dan diberanda misalnya, sangat jarang ada tulisan yang rapi dan enak dibaca dengan memperhatikan struktur kalimat dan penempatan tanda baca yang benar. Mungkin salah satu faktor utamanya karena si pemosting tidak memiliki kemampuan menulis dengan baik. Tapi, toh sebagian besar netizen juga tak butuh itu. Yang mereka butuhkan adalah informasi yang singkat, cepat, meskipun tidak padat dan akurat.
Selain soal aturan jurnalistik, berita yang ditulis netizen juga sering kali mengabaikan logika. Misalnya, seorang netizen membuat berita di medsos tentang Penerangan Jalan Umum (PJU) yang rusak dan padam selama berbulan-bulan. Di sana, netizen mengupload foto tentang gelapnya kondisi jalan di malam hari dengan bumbu mengkritik kinerja pemerintah yang dianggap tidak memperhatikan kondisi sosial kemasyarakatan.
Padahal, faktanya instansi terkait sudah menganggarkan banyak biaya untuk membangun PJU tersebut. Seharusnya, masyarakat jangan langsung menyalahkan pemerintah. Bukankah alangkah baiknya konfirmasi dulu ke pihak terkait untuk mengumpulkan data. Lantas bagaimana, jika kerusakan PJU disebabkan oleh perbuatan oknum masyarakat itu sendiri yang kurang kerjaan merusak fasilitas publik?
Selain itu contoh lain misalnya, sebagai bentuk protes netizen, karena lingkungan tempat tinggalnya selalu terendam air saat hujan. Sambil mengabadikan genangan air dan sampah yang menyumbat drainase, ia memosting kabar tersebut di medsos sembari mengkritisi kinerja pemerintah. Mestinya ia paham bahwa kebersihan tidak melulu menjadi tugas pemerintah, tetapi juga tugas seluruh masyarakat. Iya toh?