Mohon tunggu...
Aluzar Azhar
Aluzar Azhar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuluh Agama Honorer

Berbuat baik kok malu, jadi weh ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memilih Pemimpin dan Korupsi

15 Desember 2018   13:45 Diperbarui: 15 Desember 2018   13:53 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengapa Harus Memilih Pemimpin?

Jawabannya karena setiap anggota komunitas mempunyai latar belakang dan kebiasaan yang berbeda, yakni terdapat perbedaan 'cara' dalam memenuhi hajat hidup, sedangkan maksud dan tujuan komunitas itu harus sama. Karena itu dibutuhkan kesamaan cara untuk memenuhi permintaan, kebutuhan, atau keinginan bersama, sehingga setiap anggota merasa terpenuhi/terwakili hajatnya oleh kredibilitas dan kemampuan pemimpin-nya.

Salah kaprah jika pemimpin hanya dimaknai 'pemerintah', yakni yang selalu tunjuk sana-tunjuk sini dan hanya di 'depan'; terlebih dengan perkembangan kiwari yang di-endorse gawai IT, sehingga melahirkan pemimpin artifisal. Sebutlah besar di dunia maya, tapi kecil di dunia nyata; wah di televisi, tapi kumuh di bumi.

Justru menjadi miris dengan wacana dan aksi 'e-gov', one touch easy, atau pelayanan satu atap apabila hanya dituntun oleh software atau robot karena bisa seketika oleh orang pinter-keblinger (hacker) diretas, apalagi oleh orang 'vested interest' pasti di-obok-obok.

Dinamika lain sedikit menenteramkan hati, di banyak pelosok daerah, diselenggarakan pemilu dan langsung secara swakarsa untuk memilih ketua RT dan RW-nya. Namun kemudian, muncul kesan 'pesta' karena sistem demokrasi 'menyuruh' masyarakat untuk menyuarakan suaranya secara mandiri dan 'berpesta demokrasi' yang mewujud dengan hura-hura dan pemborosan.

Pemilu ketua RT, bolehlah dianggap suci interes dengan biaya tak seberapa. Tetapi mulai level RW hingga seterusnya (pileg, pilkada, atau pilpres), pesta demokrasi ekuivalen dengan kerja provokasi berbiaya jorjoran.

Kekhawatiran ini bisa jadi faktor 'gagal paham' terhadap musyawarah yang tercantum pada sila ke-4 Pancasila. Padahal sila ini pernah teruji-terpuji ruang dan waktu selama kita berbangsa dan bernegara. Apakah sistem musyawarah mengalami mati suri sejak Era Reformasi bergulir? Segera reformis menyergah, memang era sebelumnya sudah melaksanakan sistem musyawarah secara benar?

Yang kentara sejak Era Reformasi yang didukung oleh keterbukaan informasi untuk publik itu adalah gap dan cost yang masif sekaligus permisif, sehingga mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Sungguh mudah menyulut friksi sekaligus sungguh cepat untuk taken for granted jika ada kompensasi ('uang diam'), padahal korban fisik dan mental itu tak terhitung alias priceless!

Di sinilah pentingnya pemimpin sinkron dengan memilih pemimpin yang efektif-efisien. Karena secara ekonomi-politis tentu hanya mengeluarkan biaya (cost) yang kecil dan tidak akan mengundang kesenjangan (gap) antar-interes yang masif-permisif. Memilah-memilih pemimpin yang gini tentu sulit seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

Memang menjadi vicious circle. Di satu sisi, kinerja politik kita ingin efektif-efisien dengan indikator dinamis dan dewasa. Namun di sisi lain, kita terkungkung oleh variabel finansial dan genealogis. Kedua variabel ini warisan feodalisme yang direkayasa imperialis (Belanda). Sepertinya, kita akan sulit dewasa dalam berpolitik (Misal: satu periode untuk setiap jabatan publik, hatta untuk jabatan ormas sekalipun).

Padahal, mari saling ingatkan, politik itu dakwah kok dengan kata kunci 'proselytize'. Secara individual hanya dengan silaturahmi (shilaaturrahiim) dan secara komunal hanya dengan musyawarah; tentu sangat menekan gap dan cost. Eh, tren anjangsana komunal (antar-parpol) adalah bargaining dalam arti bagi-bagi 'jatah'; maka kasih sayang dan keterwakilan nonsens!

Pemimpin Ideal

Legenda, yang faktanya jadi mitos, pemimpin ideal di negeri ini ialah Ratu Adil, yaitu tokoh yang diharapkan (diidealkan) menjadi pembebas dari kesengsaraan. Setiap daerah di negeri kita punya Ratu Adil.

Sebagai rakyat, tentu memori kita merekam dan membandingkan pemimpin kita dari level RT hingga presiden. Mungkin, muncul sesosok pemimpin ideal dari hasil perbandingan di antara yang pernah memimpin kita itu. Namun karena perspektif individual, tentu tidak representatif bagi seluruh individu di lingkungan RT hingga nasional. Jadi, siapakah pemimpin ideal secara konsensus?

Mari kita selisik definsi pemimpin. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), 'pemimpin' ialah orang yang memimpin atau petunjuk; buku petunjuk (pedoman). Jika orang, berarti ia melakukan pekerjaan 'memimpin', yakni: (1) mengetuai atau mengepalai (rapat, perkumpulan, dsb); (2) memenangkan paling banyak; (3) memegang tangan seseorang sambil berjalan (untuk menuntun, menunjukkan jalan, dsb); membimbing; (4) memandu; serta (5) melatih (mendidik, mengajari, dsb) supaya dapat mengerjakan sendiri.

Secara implisit, terkandung kata kerja 'tuntun', 'bimbing', dan 'dorong' serta mungkin menjadi premis Ki Hajar Dewantara untuk memunculkan teori 'posisi' pemimpin, yakni: (1) di depan, memberi teladan, ing ngarso sung tulada; (2) di tengah, membangun semangat, ing ngarso mangun karso; dan (3) di belakang, memberikan pengaruh, tut wuri handayani (Mar'at, Pemimpin dan Kepemimpinan, 1984). Selanjutnya, kinerja pemimpin adalah pedoman yang dianut rakyat, maka 'pemimpin ideal' adalah panutan rakyat.

Dengan demikian 'pemimpin' ialah orang berani karena berani memikul tanggung jawab orang lain dan orang banyak. Kita sepakat bahwa tidak semua dari kita itu pemberani. Yang fatal adalah apabila kita salah memilih pemimpin, ternyata pengecut!

Bandung, 27 Agustus 2016.

Puisi | Pemimpin Buntung

oleh Aluzar Azhar

Kalau masih ingin memimpinku

Potonglah tangan kananmu

Aku ingin melihat kesungguhanmu

Memberantas korupsi

Kalau sekadar retorika

Kesalahan prosedur

Kita semua salah

Telah memilihmu

Aku tak butuh tanganmu

Aku butuh teladanmu

Meski lama juga tak melahap

Cap kerakusan

Ini baik bagimu di Bumi

Daripada di Langit, kelak

Kita bertemu

Kamu masih buntung!

Bandung, 20160919, 16.00

c.q. "Pertimbangan Pertama"

UU Tipikor No. 31/1999

Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

"Pertimbangan Pertama"

UU No. 20/2001 Perubahan UU Tipikor No. 31/1999

Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun