Yang nyampe padaku soal 'pukul' dan 'tampar', mungkin diawali dengan kisah leluhur Qabil yang memukul Habil dengan batu, sehingga wafatlah leluhur kita yang ikhlas itu. Pertanyaannya: kita ini keturunan Qabil atawa Habil? Hehe, kiranya sudah jelas siapa keturunan Qabil dan siapa keturunan Habil kini.
Kemudian kisah Musa (Muusaa) a.s. di masa muda yang sekali pukul, tewaslah seorang bangsa Qibthi (Mesir), rakyatnya Fir'aun, karena Musa membela seorang Bani Israil. Tentu sebagai Raja Diraja yang 'bertanggung jawab', Fir'aun keki. Musa kabur, mengembara ke Madyan (Yordania); menjadi penggembala, mengawini putri pemilik kambing, Syu'aib a.s., dan Musa menjadi Nabi. "Hm, Musa semakin bertingkah," ditambah pikir Fir'aun, "Musa telah durhaka sebagai anak pungut!" Musa dan pengikutnya ngungsi, Fir'aun dan pasukannya ngejar.
Hingga ke tepi Laut Merah, Musa pukulkan tongkatnya, (dengan izin Tuhan) laut terbelah, Musa dan rombongan selamat; Fir'aun dan sebagian pasukannya ditelan Laut Merah (Add. mumi Fir'aun di Museum Kairo; diteliti ahli bedah dari Perancis, Maurice Bucaille, benar mengandung garam; Maurice menjadi mualaf dan menulis buku, salah satunya: Bibel, Qur-an, dan Sains Modern [terjemahannya]).
Juga kisah Isa ('Iisaa) bin Maryam a.s. yang dikenal lemah-lembut, maka salah satu 'ajarannya' yang terkenal adalah "Jika ditampar pipi yang kiri, berikan pipi yang kanan!"
Adapun kisah Muhammad SAW, cius, Nak, hingga catatan harian ini kutulis, belum pernah aku membaca/mendengar Beliau memukul atau menampar orang lain (kecuali di medan pertempuran, masak culak-colek saat perang? Kisah Ukasyah r.a. pun karena 'ketidaksengajaan' dan justru Nabi yang minta Ukasyah untuk kisas [qishash]).
Namun, ketika muda, Beliau dikenal sebagai saingan 'terberat' 'Umar bin Khattab sebelum muslim, maka ketika jadi Nabi, Beliau berdoa agar 'Umar masuk Islam. 'Umar dikenal jago gulat tradisional (Benjang kalau di Ujungberung) dan seniornya Khalid bin Walid, panglima perang muslim di era Nabi dan Sahabat.
Konon, Muhammad itu perpaduan Musa (yang tegas-keras, maka butuh Harun a.s., saudaranya yang lemah-lembut sebagai partner dakwah) dan Isa (yang lemah-lembut). Paling setahuku, 'marah' Beliau adalah 'obstructive', bersifat menghalangi/mendiamkan (Sunda: ngabaeudan). Misal, istri atau sahabatnya khilaf berbuat mungkar (melanggar perintah Tuhan), oleh Nabi 'diboikot' (didiamkan); dan tidak lebih dari tiga hari!
Memang ada Hadis: "Jika melihat kemungkaran, ubahlah dengan (1) tangan, (2) lisan, dan (3) hati; dengan hati itu selemah-lemahnya iman (H.r. Muslim dari Abu Said al-Khudri). Setahuku, dengan 'tangan' berarti dengan kekuatan (dengan pukulan atau tamparan dsb) dan dengan 'hati' misal didoakan (justru doa dari Nabi adalah doa kebaikan) atau didiamkan/dibiarkan tadi.
Di Quran, disebutkan pukulan yang 'mendidik', misal dalam (keterangan) Q.s. 4: 34, yakni pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Mungkin, ini kisah Ayyub a.s., yang sabar diuji berpenyakit lepra hingga puluhan tahun, dan terlanjur bersumpah akan memukul istrinya yang lalai mengurus Beliau ketika sakit; Tuhan menegur via Q.s. 38: 44, "Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah ..." Kemudian di Hadis, jika anak 10 tahun sudah diajari tapi tidak mau shalat, pukullah pantatnya! Nak, cius, kelak, kalau kamu tidak shalat, kutepuk pantatmu!
Di Quran, aku menemukan kata 'pukul' 1 ayat; 'memukul' 8 ayat; dan 'menampar' di keterangan ayat 7: 195. Menurut Quran, 'the real' memukul itu tugas Izrail (malaikat pencabut nyawa) kepada orang kafir (lihat Q.s. 6: 93; 8: 50; dan 47: 27). Hagg!
Karena itu, di Islam, memukul itu tidak sembarangan alias penuh perhitungan. Namun begitulah hoax 'islamfobia' dari zaman baheula bahwa Islam disebar-menyebar oleh kekuatan (oleh pukulan, oleh perang). Padahal sudah menjadi 'rahasia umum', Nabi Muhammad SAW menaklukkan dunia dengan 'senyuman' (Buktinya: mengapa Muhammad menjadi rangking kesatu di bukunya Michael H. Hart, Seratus Tokoh?).
'Tradisi' memukul tidak serampangan itu diteruskan Sahabat Nabi. Kisah kesohornya misal ketika 'Umar sebelum muslim mau jabanin Nabi karena menyebarkan Islam dan mendengar adik perempuannya, Fatimah, telah muslimah. Singgah ke rumah Fatimah, ditamparnya; namun ketika mendengar Fatimah baca Q.s. Thaahaa/20: 1-8, luluh-lantaklah kemarahan-keangkuhan 'Umar. Selanjutnya, justru mau jabanin Nabi itu karena 'Umar ingin masuk Islam. Bagiku, kisah ini adalah doa Nabi yang dikabul Allah SWT.
Biografi 'Umar sungguh menakjubkan, meskipun aku tidak khatam membacanya; dari masa jahiliyah, masuk Islam, dan menjadi khalifah, 'amirulmukminiin, setelah Abu Bakar r.a. 'Aisyah binti Abu Bakar r.a., istri Nabi, menceritakan perihal 'Umar: "'Umar itu pukulannya paling keras, tapi perilakunya paling lembut."
Kemudian kisah 'Ali bin Abi Thalib r.a., menantu Nabi, khalifah keempat setelah 'Utsman bin 'Affan r.a., meskipun di medan perang dan musuh sudah tak berdaya karena dicekik 'Ali, si musuh putus asa dan hanya mampu meludahi wajah 'Ali; justru 'Ali melepaskan stranglehold-nya. Musuh keheranan. 'Ali berkata: "Aku tidak akan memukulmu karena kamu meludahiku!" Subhaanallaah, musuh 'Ali itu terpesona dengan akhlak 'Ali dan hatinya tertambat (mu-alaf), masuk Islam dengan sukarela.
Wow, sungguh banyak hikmah dari perilaku Sahabat dan penerusnya. Di kita pun, tengoklah, tanyalah sesepuh kita: bagaimana 'adab' berperang di masa merebut kemerdekaan dan 'teknik' berkelahi di masa muda mereka. Sungguh beradab, sungguh manusiawi; mereka nyunah Nabi, mereka taat kepada perintah Tuhan!
Tet tew!
Nah, kisahku, Nak, sebelum kamu tahu dari orang lain, inilah kisah pukul-ku ... Jika ceritaku ini bohong, tentulah ada dongeng tandingan, bahkan disertasi, dari saudara dan kawan Bapak, hihi!
Seingatku, penyebab lahirnya kata 'pukul' dalam kamus hidup Bapak adalah perasaan atawa sangkaan bahwa ibu dan buyut yang perempuan Bapak tidak adil dalam hal pemberian, selalu memberi lebih kepada kakak Bapak (Waduh, Bapak keturunan Eyang Qabil?). Eng ing eng ... dimulailah kisah 'sunnah' Tom & Jerry alias hal lumrah kakak-beradik guntreng (cekcok-berseteru). Ibu Bapak, nenekmu, yang ingatkan bahwa Bapak di usia empat tahun pernah lempar sandal kulit ke lemari hias di ruang tamu, kaca dan sebagian isinya pecah-berantakan, gara-gara plok (biji mangga, lumayanlah ada dagingnya, sedikit tapi kelihatan gede); katanya, Bapak marah karena plok dikasihkan ke kakak Bapak.
Entahlah, sudah berapa ratus kali kita guntreng hingga usia dua puluhan. Dilerai, didamaikan, justru menambah dongkol. Karena 'lingkungan' Bapak seperti selalu membela, seperti selalu membenarkan perilaku kakak Bapak. Hajeuh! Namun seingatku, Bapak selalu 'menang', Nak, meski kakak Bapak ikutan tinju-lah, kick-boxing-lah, atau olahraga lain yang banyak diikutinya (Hehe, padahal boleh jadi uakmu itu 'mengalah'...).
O, pantas, Bapakmu ini tidak TK dulu. Keruan, Bapak jadi ngeuh, setiap rewel atau nakal, Bapak selalu ditakuti ibu Bapak dengan: "Awas nakal, nanti digebuk, Pak Guru!" kalimat ancaman sambil pegang mistar dari kayu 1 meter, punya kakekmu yang memang guru. Hm, jadi rindu mistar kayu itu, masih adakah di zaman now?
Di SD kelas 1, lupa penyebabnya, cuma Bapak yakin, Bapak tidak salah dan Bapak pasti tidak akan memulai perkelahian, atau yang cari masalah duluan. Bapak pukul teman yang pakai kacamata; pecah dan mukanya berdarah. Se-sekolah geunjleung (heboh). Olala, dia anak tentara! Untunglah, pamanku RPKAD (sekarang: Kopassus). Sesama tentara cincay-lah, lagian itu kan masalah anak-anak. Alhamdulillaah berdamai; mungkin, kakekmu yang ganti biaya perawatan dan belikan kacamata baru. Semoga.
Ternyata 'karma', meski kawan kuliahku yang dipukul; kacamatanya pecah, mukanya berdarah, tapi memalukan: rebutan 'ayam' kampus! Aku samperin yang mukul, mau minta klarifikasi dan kompensasi. Eh, malah ngajak kelahi. Okelah kalau begitu. Di siang hari, di ruang kuliah yang sepi, hanya berdua, ... Busyet, dia ngeluarin celurit! Syukurlah ada kursi belajar. "Ayo, kursi lawan celurit!" Hihi, dia ngeper (ciut nyali)? Hehe, bukan, karena dari lantai atas saja ngaburudul (eksodus) turun yang baru beres kuliah. "Kita lanjutkan di tempat dan waktu yang lain!" bisiknya. "OK!" jawabku. Thank's God, singkat cerita, dengan calon 'sparing-partner' itu malah jadi kawan karib.
Di SMP kelas 1, terjadi kelahi, karena dia menghina 'daerah' kita yang katanya: "Beraninya cuma main keroyokan!" Hm, "Kata siapa?" sergahku, "ayo buktikan!" tantangku. Hihi, kita di-oktagon-kan, di-UFC-kan, di-smackdown-kan, oleh ustadz pembimbing kita karena kita se-asrama, se-pesantren ... Hadeuh, rindu kawan yang jauh dan berbeda pulau itu; 33 tahun kita tak bersua karena lost contact.
Di SMA kelas 2, ku-gingkang saja kawan sebangku! Karena, pikirnya lucu, kursiku ditempelin permen karet. Keruan pantat celana abu-abu itu bernoda dan susah hilang. Kita dipanggil guru BK karena kita kelahi pas waktu belajar. Kawan sebangku itu beda agama, tapi sungguh 'berkesan' di setiap hari raya agama masing-masing. Kayaknya, aku sering dipanggil guru BK dech ... Wah, masa SMA adalah masa 'trial and error'-ku; segala apa dicoba; ironinya memang 'terbawa' arus ... Soal 'gingkang', 'singkang', 'lwikang', ... kuperoleh dari novel karya-karya Kho Ping Ho. So pasti, Bruce Lee ialah idola kita: "Ciaaat, dzigs!" pakai kelingking, heuheu.
Hadeuh, rumah pernah diserang serombongan anak-anak SMA. Gara-gara kakak menghardik mereka yang berisik di bis kota. Konon, menurut mereka, kakakku sambil menjambak baju di antara mereka hingga kancing-kancingnya putus dan baju seragamnya robek. Saat itu, aku lagi dipelonco, baru masuk kuliah. Ya begitulah, karena 'darah muda', meski ceritanya mau musyawarah, akhirnya kita 'mufakat': kelahi! Aku dan kakakku dikeroyok belasan. Tentu tak ada yang berani hadapiku karena yang datang, tumbang; datang, tumbang. O, kasihan kakakku, kepala belakangnya ada yang mukul dengan asbak gede dari kaca karena arenanya di ruang tamu. Itulah kenapa kakakku selalu kalah kalau kelahi. Coba ikutan silat, nanti ada pakem: "Ngintip memeh nguntup!" (selidiki sebelum taklukkan). Otomatis ada istilah 'kontrol' (diri dan sikon). Terus bedakan 'berani' dengan 'nekat' karena berani itu penuh perhitungan, sedangkan nekat itu frustasi ... dan yang utama, berani itu harus karena benar (Kelak, kamu 'kan tahu kenapa kuberi namamu 'itu', Nak)!
Omong soal 'benar'; dari kuliah, kudapat 'nilai' benar, yakni secara logis (benar-salah), etis (baik-buruk), dan estetis (indah-jelek). Dari kakekmu, kudapat 'subjek' kebenaran, yaitu benar menurut diri-sendiri, orang lain (masyarakat), negara, dan agama. Nah, 'benar' berkelahi itu, kalau bisa, harus sesuai kaidah: "Semut juga kalau diinjak, menggigit!" Artinya, terjadinya perkelahian itu karena kita mempertahankan hak (haq = kebenaran; al-Haqq = Sang Mahabenar) atau membela diri.
Di sini terlihat jelas kearifan para sesepuh kita yang memberi sebutan silat (pencaksilat) sebagai 'ilmu bela diri'. Tentu, di silat, diajarkan pula cara menyerang berikut makna filosofis jurus dan gerakan. Silat ini salah satu budaya 'genuine' kita ... Hati-hati diaku lagi 'negara' lain, Nak!
Kejadian lagi, sayang karena alasan 'darah muda' lagi. Ini kisah oknum orang Sunda. Ya, aku. Gara-gara gak bilang 'punten' (permisi), seorang tamu yang apel ('wakuncar', waktu kunjung pacar) ke asrama mahasiswa-ku babak-belur kuhajar. Tak lama, hamdalah atawa istighfar (?), aku dikeroyok se-RT; gara-gara kawan juniorku dikemplang: BLETAK! Darah mudaku terkesiap dan siap-siaga. Sial, karena disuguhi minum di rumah RT, air di gelas-gelas tumpah dan lantai di ruang tamu itu jadi basah, sehingga aku jatuh-selip tersungkur; aku seperti orang sujud sambil melindungi kepala dengan lenganku. Tetap saja: BUK-BEK-BUK-BEK ... pukulan ... tendangan ke arah belakangku; tadinya, gak ada yang berani berhadapan!
Yang 'lucu' kisah dipukul jeger (yang 'megang' di kampung itu). O, begitu ya 'cara' preman menyelesaikan masalah: Pukul dulu, baru musyawarah. Hihi, dia mukul empat kali, gak kerasa tuh! Hm, kalau saja aku masih muda ... (mudah-mudahan ini kisah terakhir soal pukul-memukul-dipukul-ku, amin yRa).
Anakku, mungkin ada kisah-kisah pukul-ku yang tak tersampaikan karena lupaku, sehingga ada kabar yang sampai padamu bahwa Bapakmu ini seorang 'pemarah' (Sunda: sahaok kadua gaplok, sekali hardik kemudian pukul; padahal Bapak ingin dikenang 'peramah' loh), tukang kelahi, atawa tukung pukul. Percayalah atau terserahlah ... karena aku percaya kamu bisa menilai 'jernih' (holistik) kelak. Yang mesti kamu ingat: pukulanku itu adalah kasih sayangku. Silakan kamu cek. Apakah ada yang sakit hati? Memang tak terlihat; tetapi apakah perkawanan atau silaturahmi Bapak dengan mereka jadi terputus?
Ya, itulah romantika kehidupan; seperti sunah Tom & Jerry. Justru 'gawat' (jadi pertanyaan besar), kalau kucing dengan tikus akur; kalau kebenaran dengan kebatilan kompak!
Dari kisah pukul ini, aku ingin kamu memperoleh 'definisi' tersendiri. Mungkin, aku sekadar 'menggarisbawahi' bahwa ada hikmah; harus mengambil pelajaran. Tentu, kamu meneladani Nabi dan para pengikutnya. Tentu, kamu pun 'mengasihi' Bani Israil (Israel), yang di rezim Jokowi ini, aku sebut sebagai 'KKB' (kelompok kriminal bersenjata); terus pukul-mundur warga Palestina, terus caplok tanah Palestina. Soal Israel, percayalah, terlalu sering aku menulis tentang mereka.
Sayang, mereka selalu lupa kisah Daud a.s. kalahkan Jalut; atau versi mereka: David versus Goliath. GR-nya mereka yang David; padahal sudah jelas anak-remaja Palestina-lah yang pakai ketepel! Yakinlah, orang-orang saleh-lah pewaris bumi (Q.s. 21: 105). Jika saudara kita di Palestina itu orang-orang saleh, tentu merekalah pemilik Yerusalem. Seperti di film-film Bollywood atau Hollywood saja, protagonis selalu kalah dulu (Sunda: boga lakon eleh heula) ... Masih bengal, bebal, dan tak tahu diri? Cuciaaan dech kamu, El!
Anakku, serius, jika aku--otomatis kamu--keturunan Eyang Qabil, maka ada dua kemungkinan penyebabnya: (1) sangka-an kita ke Tuhan, “Aku (Allah) sesuai dengan persangkaan hamba-Ku pada-Ku” (H.r. Bukhari dan Muslim); serta (2) kerja abadi yang sukses dari Iblis, “dan dari kejahatan pendengki (haasidin) bila ia dengki (hasad)” (Q.s. 113: 5). Perasaan atau sangkaan--jika kita sedang ‘kosong’ (iman lemah)--itu sungguh mudah disisipi-dibisiki hasad, hasud, dan hasut Master of whisper (Setan alias Iblis); bahkan aku meyakini, tanpa bantuan ‘beliau’, kita pun dapat mencipta dengki dan menjadi pendengki karena kita makhluk termulia di antara makhluk Tuhan!
Apakah pukul itu sebagai media solusi atau dengan memukul itu bisa menyelesaikan masalah? Kalau bisa, menyelesaikan masalah itu tanpa melahirkan masalah baru (Sunda: kudu beres roes, harus beres tuntas), Nak! Ini nasihat seorang kakek-kakek yang sama-sama lagi nunggu anak TK sekolah; bedanya, Bapakmu ini sedang ngojeg, lagi 'tugas' menjemput anaknya teman Bapak: "Ngiluan silat hayang kuat diteunggeul atawa embung diteunggeul ku batur (ikutan pencaksilat ingin kuat dipukul atau tidak mau dipukul oleh orang lain)?" Wa Allaah a'lam.
Ujungberung, 18 Desember 2017, 00.13.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H