Pepihku sayang,
Saya merasa lebih bebas menuangkan tulisan saya ini melalui rubrik Fiksiana. Kenapa? Karena rubrik Fiksiana memberi kebebasan bagi saya untuk menuliskan sebuah fakta yang ingin saya tuliskan sesuai keinginan saya. Bukan karena keinginan siapapun. Saya bukan orang yang senang menari menurut kendang orang dan juga tidak akan memainkan kendang bagi orang lain. Sebisanya, saya menghindari hal yang seperti itu. Kenapa? Karena kepada siapa yang akan saya tuliskan ini, tidak saya kenal secara pribadi. Saya hanya melihatnya dari kejauhan tanpa keinginan untuk menjalin kedekatan apa pun dengan siapa yang akan saya tulis. Alasan penting lainnya adalah karena saya tidak memiliki pretensi kepentingan apa pun dalam tulisan  ini.
Saya tergerak saja berfiksi, bersurat kepada seorang Pepih. Katakanlah, saya jatuh sayang kepadanya. Rasa sayang kepada sesesorang yang tidak saya kenal seperti sebuah fiksi, tetapi adalah fakta. Tidak perlu ada yang berkeberatan atas rasa ini karena saya kemukakan secara terbuka tanpa harus menyembunyikan, berpura pura, sampai harus membungkusnya berlapis lapis sehingga membuat orang yang membaca menerka nerka. Tidak ada maksud itu. Sumpe. Lagipula, saya tidak punya alasan untuk membenci Pepih.
Anggaplah saya seorang kakak atau adiknya. Sebagai saudara sepupunya juga boleh. Tapi tidak sebagai seorang ibu bagi Pepih tentu, karena saya tidak seumur ibunda Pepih pasti. Lebih tidak mungkin saya menempatkan diri sebagai kekasihnya. Pepih bukan tipe saya. Mungkin, yang tepat, saya bukan tipe Pepih. Lagipula, tidak pernah ada dalam angan angan saya untuk mendapat pesan di fitur "obrolan" dari istri Pepih. Saya pun akan sangat berkeberatan untuk digosip gosipkan ala Kompasiana. Saya pun bukan pengidap penyakit gaya hidup dunia maya yang sering menjadikan kemayaan sebagai wahana untuk pamer kemesraan ala Mesran. Mesran itu, siapa tahu ada yang belum tahu, merek oli produksi Pertamina yang, entahlah, masih diproduksi atau sudah ganti nama. Ini fiksi, bukan oli. Sebegitu panjang penjelasan ToC untuk menempatkan diri saya hanya seorang saudara secara maya bagi Pepih. Terasa fiksiana, tetapi bukan fatamorgana.
Secara pribadi saya tidak mengenal seorang Pepih Nugraha. Saya mengenal Pepih, kalau kebetulan saya baca, melalui pewartaannya ketika ia masih berada di lapangan. Pepih salah satu wartawan (muda) yang serius pada profesionalitas dunianya. Saya percaya akan integritas profesional seorang Pepih.Â
Saya mengikuti kemunculan pertama kali Kompasiana. Secara strategis Kompasiana mengundang para pengemuka untuk menulis disini untuk turut  membangun marwah Kompasiana. Bagi saya Kompasiana adalah suatu terobosan yang gemilang yang dirintis oleh sebuah group media dalam menjawab peluang baru era TI. Saya tidak tahu kenapa Pepih yang dipilih. Setahu saya banyak yang lebih senior dari Pepih dan juga banyak wartawan TI di Kompas yang mungkin lebih pantas dipilih menginisiasi Kompasiana waktu itu.
Bahkan saya berani mengatakan Facebook, pionir perintisan media sosial yang fenomenal itu, bisa dikatakan "mengambil ide" dari Kompasiana dalam mengembangkan keleluasaan jumlah karakter untuk kolom statusnya. Facebook lebih dahulu, tetapi ide mengembangkan media warga ini, kalau bisa saya turut berbangga  juga dirintis dan dikembangkan oleh konvergensi media Indonesia. Tidak ada yang benar benar orisinal di bidang TI, kecuali kita berterima kasih kepada para penemu yang setia di setiap kurunnya.
Kompas bisa dikatakan ragu ragu memasuki dunia pertelevisian. Kompas, bukan Indo Maret atau AlfaMart yang saling menguatkan berdiri berdampingan di dunia retail. Kompas telah kuat sebagai media cetak nasional, sepertinya Kompas memang tidak sepenuh hati turut bersaing di arena pertelevisian terresterial. Bukan lahan Kompas. Tetapi Kompas merangsek maju lebih dahulu menjelajah segala kemungkinan kemajuan TI di ranah media warga. Hebatnya, Kompas merambah kemajuan dunia TI ini dengan membuka Kompasiana, media warga. Termasuk media onlines dan kemudian Kompas (satelit) TV. Berapa besar kapital dikeluarkan Kompas untuk itu? Tidak main main. Tetapi, seberapa pun kapital yang tersedia, tetap dukungan para ahli TI di segala lininya itu yang penting. Di atas itu semua, saya tidak tahu kenapa Pepih dan kawan kawan, tim kerjanya, yang dipilih untuk pengembangan kontennya.Â
Bukan hal yang mudah untuk merintis Kompasiana. Mungkin Pepih mengalami sembelit berhari hari mengingat bandwidht yang harus tersedia. Bisa dikatakan Kompasiana sukses sebagai perintis konvergensi media di era internet. Kompas mempertaruhkan, bukan saja kapital, tetapi terlebih lagi sebagai terobosan, inovasi untuk membentuk media warga. Pepih diberi tantangan untuk mengembangkannya. Pepih melakukannya dengan baik sekali. Jika diizinkan saya memberikan dua jempol, empat dengan jempol kaki, karena saya tidak mungkin meminjam jempol tetangga, untuk Pepih. Ini bukan ide Pepih saja, Â semata kejelian Kompas dalam menghadapi era baru di bidang media dan menjadikan Kompasiana mandiri.
Saya yakin Pepih tidak tidur bermalam malam, berbulan bulan, mungkin sampai sekarang, untuk mewujudkan dan mengembangkan media warga ini. Para ahli TI bersama Pepih dan tim kerjanya pasti bekerja keras untuk mewujudkan pelibatan partisipasi warga di era Keterbukaan Informasi. Kepesatan terobosan dunia TI yang sekarang terjadi dalam hitungan "detik."
Pepih konsisten. Pepih bukan Mark Zuckerberg. Zuck, salah seorang seorang whizkid TI dari Silicon Valley ketika Pepih masih ada di lapangan berbekal tape recorder Sony. Masih jauh dari eranya Apple dan android Samsung disini. Pepih adalah wartawan yang sekarang, apa pun sebutan kedudukannya, Â bukan untuk dimenterengkan, tetapi memimpin pengelolaan konten media warga sekaligus juga mengedukasinya. Saya tidak akan pernah meragukan integritas profesional seorang Pepih Nugraha dalam mengembangkan media warga di era konvergensi media berbasis internet. Ini bukan hal yang gampang, walau Kompasiana tidak dapat dilepaskan dari (fasilitasi) Kompas.
Pepih bukan pahlawan yang harus menjadi martir untuk memenuhi kepuasan semua warga. Pepih bukan polisi, bukan jaksa dan bukan hakim dan tentu bukan satpol PP yang turun sibuk untuk penggusuran. Tetap harus ada tanggung jawab dari semua warga sejak awalnya. Oh, ya, Pepih juga bukan seorang pemadam kebakaran, apalagi jika kebakaran itu dibuat oleh warganya sendiri. Musykil untuk seorang Pepih kemudian diserapahi  segala macam dan alasan.Â
Terasa fiksi? Ya, karena siapa disini yang tidak memfiksikan dirinya dengan masing masing alasannya untuk masuk kesini, keluar, masuk, keluar Kompasiana. Semua punya segudang alasan yang akan fiksional dalam membangun citra masing masing disini, yang di antaranya, telah terekam jejak jejaknya. Pepih, tidak perlu menghilangkan jejak jejak yang telah ada. Dihilangkan, tetap saja ada kemudian dalam segala bentuknya. Jejak apa yang mau dipilih? Teserah, segala citra dapat dipilih termasuk dalam bungkusan plot demi plot dramatisasi fiksional.
So, Pepihku sayang, please, hangin' there. Ini bukan untuk Pepih seorang, tetapi segala hormat saya untuk semua yang bekerja keras mewujudkan era media baru, membentuk masa depan, yang tetap dalam konteks policy, code of ethics dan code of conducts yang telah ditentukan.
Dari,
seorang saudara.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H