Mohon tunggu...
Aluska Alus
Aluska Alus Mohon Tunggu... -

the deeper wisdom bringing in its own way the special request to pass

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pagi .. Mengingat Matahari

18 Januari 2014   16:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:42 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi murung, merasa tak dimengerti. Tapi apa yang harus dimengerti. Rasanya tidak perlu. Karena matahari begitu kukuh ialah matahari. Pagi bukan siapa siapa. Pagi yang harus mahfum cumbu matahari terbagi merata pada hari hari. Dan, itu harus disaksikan pagi. Pagi harus menerima seolah itu takdirnya.

Pagi mengeluh, ia tak stimewa. Pagi bukan siapa siapa bagi matahari. Pagi menghirup embunnya dalam dalam, menghempaskannya sekuat daya. Pagi lah tak terlena.

Pagi tak kan mengerti matahari ingin ia menerima bulatnya. Panas matahari bukan hanya buat pagi. Jika demikian, mengapa matahari tak mau melihat pagi pun kadang tak dapat menolak kerlip gemintangnya mengawasi matahari.

Bukan pagi yang mau jika pendar gemintang itu terkadang masih ada kala matahari menyapa. Bukan pagi sang pemilik langit. Pagi pun tak tahu kapan gemintang itu berkilau di mata pagi. Walau pagi telah tenggelam dalam cahayanya membinarkan pagi. Membuat pagi teristimewa. Pagi tak sanggup berbagi. Paling tidak untuk saat ini. Pagi merindu ingin ia satu satunya terangkul matahari. Dan, matahari menolak, menghempaskannya, memilih hari hari. Matahari tak peduli pagi perlu waktu belajar percaya.

Mulai dini ini pagi memilih tak ingin mengingat mentarinya lagi. Tak perlu mengingatnya. Memang, tidak ada yang perlu diingat. Semua terjadi.  Itu saja.

Tak urung, pagi mengingat ingat sejalan putaran waktu yang masih mudah dihitung. Berlebih dari bilangan jari, tetapi terasa tergenapi menguasai rasa. Tak kuasa, pagi berusaha mengingat kapan cahaya mentari mulai membelainya. Kapan? Serasa semua tiba tiba ada dalam takdirnya.

Begitu lama, pagi bersembunyi di balik gulita malam. Lama, ia membiarkan  derai embun tak menyentuhnya. Pagi pun tak tahu gemintang mengintai sembunyi . Dan tahu tak mudah pagi membiarkan matanya ditatap matahari. Pagi tak sanggup meredakannya. Hari hari merendahkan pagi menyembunyikan gemintang di sudut malam, namun matahari tak menghiraukan bersit rindunya. Pagi perlu waktu.

Kapan pagi tersadar akan hangat lembut matahari? Tak mampu pagi mencerna kapan cahaya mentari menyelusup jauh menguasainya.

Pagi tahu, walau tak mungkin, seandai boleh waktu berjalan mundur, maka janganlah ada siuman tak sengaja. Jikalah pagi dapat mengolah rasa, memisahkan, memilah serapinya. Dalam hitungan berlebih dari bilangan jari pagi terlena dalam rasukannya.

Seandainya lebih awal pagi tahu tak kuasa ia menolak mentari. Seandainya pagi tahu mentari tak hanya ingin sinarnya untuk pagi. Pagi tak boleh mengganggu dan menjadi pengganggu hari hari yang telah ada. Pun pagi tak berniat begitu. Pagi paham matahari harus berjalan atas hari hari. Lebih dari memahami. Tak berlebihan, kiranya, jika pagi menjadi penanda. Biarkan pagi jadi pelabuhan tempat matahari melepas jangkar. Pagi rela melepas matahari melanglang hari hari yang ada. Pagi setia.

Embun berderai derai, pagi membiarkannya. Mentari tidak perlu tahu pun tampaknya tidak peduli. Hari hari menerima sinarnya lebih penting dari pagi yang menyambutnya. Mentari menganggapnya biasa. Mentari menanggapnya tiada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun