Mohon tunggu...
Aluska Alus
Aluska Alus Mohon Tunggu... -

the deeper wisdom bringing in its own way the special request to pass

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saya Guru Sejarah

5 Februari 2015   07:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:48 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya seorang guru sejarah di sebuah SMA. Mata pelajaran yang selama ini dianggap enteng dan kurang berprestise. Mata pelajaran hafalan yang tidak secara khusus diujikan dalam UN (Ujian Nasional).

Saya guru sejarah. Bertahun tahun mengajar sejarah dengan segala sebutannya dalam pergantian kurikulum akhirnya berhasil membuat saya sendiri kehilangan fokus apa gunanya saya mengajar sejarah kepada murid murid saya selain menjejali mereka dengan hafalan hafalan seperti di dalam buku.

Saya guru sejarah di SMA.

Tidak ada yang tahu bahwa sebetulnya saya sudah muak dengan kemasan sejarah dalam buku pelajaran untuk diajarkan di sekolah. Ya, saya muak dengan profesi saya. Saya bisa seperti kaset yang fasih mengulang bolak balik menyampaikan sejarah negara ini seperti yang dituliskan di buku wajib.

Sebagai guru saya cenderung kemudian cari gampang. Buat apa saya susah susah membangun logika murid murid saya. Saya boleh jadi mengajarkan mereka tentang sejarah negeri ini, tapi apa pun yang saya ajarkan murid murid saya akan mendapatkan berbagai informasi dari berbagai sumber. Entah sumber yang sahih atau sumber yang memberikan ruang bagi semua orang untuk berbicara berdasarkan preferensinya masing masing.

Dua minggu lalu saya sebetulnya tanpa pretensi meminta murid murid saya untuk membuat riset dari berbagai sumber dan mendiskusikan di antara mereka untuk kemudian mempresentasikannya. Saya meminta mereka untuk mendiskusikan tentang masalah aktual yang terjadi antara KPK dan POLRI.

Hari ini mereka akan melakukan presentasi hasil riset dan diskusi kelompok mereka masing masing. Dalam hati saya tersenyum dan membayangkan apa yang akan mereka sampaikan. Ya, kemungkinan besar, tidak beda dengan para pengulas yang saya baca, entah itu kelas doktor yang pakar atau sekedar ingin menumpahkan "kepakaran" masing masing di berbagai media sosial. Saya tidak berharap banyak dengan hasil riset mereka, karena saya juga telah banyak membaca berbagai pendapat soal itu. Saya hanya berharap saya tidak mati mendadak karena murid murid saya akan menyampaikan yang itu itu lagi.

Saya meminta masing masing kelompok mempersiapkan diri dengan teknik presentasi yang saya telah ajarkan kepada mereka. Ada juru bicaranya yang menyampaikan inti riset mereka, yang akan ditambahkan jika perlu oleh anggota kelompok dan secara bergantian akan menjawab pertanyaan dari teman temannya. Mereka terbagi atas 5 kelompok.

Saya terkejut ketika yang tampil adalah 5 juru bicara itu sekaligus di depan kelas. Seorang di antara mereka menyampaikan secara singkat bahwa seminggu pertama masing masing kelompok melakukan masing masing tugasnya. Dan, seminggu kemudian mereka saling mendiskusikan hasil riset mereka.

Hasilnya. "Hasil dari diskusi kami pak, kami perlu menanyakan kepada Bapak, 'Apakah menurut Bapaka masalah KPK dan POLRI masih dipengaruhi dengan sikap mental politik Golkar ORBA yang ternyata masih belum berubah sampai saat ini'?"

Saya terkejut dan tidak membayangkan pertanyaan itu. Bahkan saya harus mengaku saya tidak mengerti dengan maksud pertanyaan mereka itu.

Seseorang di antara mereka kemudian menjelaskan, "Kami melihat dalam masalah KPK dan POLRI harus dirunut dari sejarah Golkar zaman ORBA di negeri ini."

Saya tergagu dan berdalih, "Tapi apa hubungannya?"

Di antara mereka dengan cepat menimpali, "Bukankah melihat sikap dan perilaku POLRI saat ini kita harus mengurut ke belakang dan melihat bagaimana kinerjanya di zaman era Golkar ORBA?"

Saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Saya seorang guru SMA. Guru sejarah. Saya, dengan luluh, harus berani mengakui saya tidak lebih pintar dari murid murid saya. Saya harus menjadi guru yang juga mau belajar juga dari murid muridnya.

Jadi saya bertanya pada mereka, "Riset apa yang kalian lakukan sampai kalian bertanya soal kinerja POLRI di era pemerintahan Golkar ORBA dalam kasus KPK dan POLRI sekarang ini."

Bergantian mereka memberikan argumentasi kenapa hal itu mereka tanyakan pada saya. Saya menyimak.

Mereka murid murid SMA, murid murid saya, dengan semangat mereka aling melengkapi menyampaikan bahwa sebagai lembaga penegak hukum POLRI telah ada sejak Indonesia merdeka. POLRI masuk sebagai bagian dalam ABRI.

Mereka kembali menyentak saya dengan pertanyaan yang sama, "Bagaimana kinerja POLRI di zaman ORBA. Bukankah ORBA adalah zaman pemerintahan GOLKAR? Bagaimana kinerja POLRI di zaman pemerintahan GOLKAR?"

Saya mencoba memompa wibawa saya sebagai seorang guru dengan meminta mereka untuk menajamkan pemikiran mereka. MUngkin tahu saya agak kewalahan untuk menjawab mereka malah makin bersemangat mereka melanjutkan dengan pertanyaan  "Apa amanat REFORMASI pak?"

Saya memandang murid murid saya yang baru saya sadari mereka baru lahir atau berusia setahun ketika negeri ini memasuki Era Reformasi. Seseorang di antaranya menandaskan, "Bukankah amanat REFORMASI adalah pembubaran Golkar, memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme? Pemerintahan GOLKAR selama 32 tahun memang bubar dan GOLKAR berubah menjadi Partai Golkar. Apakah benar mental GOLKAR ORBA memang juga sudah berubah di Era Reformasi ini pak? Mereka berkuasa selama 32 tahun, menguasai semua lini, apakah mental mereka selama berkuasa memang telah berubah?"

Saya memandang mereka berlima di depan kelas dan menyapu kelas saya dengan pandangan seolah tidak percaya bahwa mereka masih bayi ketika Indonesia memasuki Era Reformasi. Rasanya baru kemarin saya ikut bersenda gurau dengan mereka untuk soal soal yang sepele. Sekarang mereka ada di hadapan saya dan menanyakan yang selama ini saya abaikan.

Saya adalah bagian dari Era Reformasi. Saya ada di dalamnya. Saya jelas senang mendapatkan tunjangan sertifikasi yang baru ada di Era Reformasi. Walau saya merasakan politik reformasi membuat saya agak tersisih karena saya enggan mengikuti politisasi yang menyeruak masuk hingga ke sektor pendidikan. Saya menyaksikan pergantian Kepala Sekolah di sekolah saya. Saya menyaksikan pergantian Kepala Dinas Pendidikan di daerah saya.

Saya guru sejarah dan saya terus terang tidak siap menghadapi hasil riset murid saya yang tidak saya bayangkan sebelumnya. Saya berpikir ya mereka akan membuat riset seperti yang mereka baca di berbagai media. Paling banter mereka akan mempelototi  yang mereka dengar dan yang mereka tonton di media televisi atau yang mereka baca dan kemudian mengambil pokok pokok yang mneurut mereka paling oke untuk dipresentasikan hari ini. Saya malah membayangkan mereka seperti seorang pakar politik dari hasil baca yang mereka lakukan seolah olah itu keluar dari pergulatan pikiran mereka sendiri

Tapi tidak seperti yang saya harapkan, mereka tidak bertindak seperti para pakar dan "apara pakar" yang selama ini saya saksikan, mereka adalah murid murid SMA yang menunjukkan riset mereka menghasilkan pertanyaan pertanyaan yang ditujukan kepada saya sebagai guru yang seharusnya memberikan mereka penajaman kemampuan mereka mengembangkan logika berpikir mereka.

"Apakah mental ORBA bisa berubah dengan terbentuknya PARTAI GOLKAR?" pertanyaan mereka menggodam saya.

Saya adalah guru sejarah. Saya produk Era ORBA. Saya merasakan pembangunan Era ORBA. Bagaimana dengan pembangunan mental saya. Apakah mental saya sudah berreformasi, terreformasi

"Apakah Bapak melihat bahwa parpol yang lahir di Era Reformasi sebetulnya tidak lepas dari tokoh yang ada di Era ORBA?" tanya mereka.

Saya mencoba menatap mereka dengan berani. Saya tidak berfikir sejauh itu. Saya pun tidak mengerti apa yang mereka dapatkan dalam riset yang mereka lakukan selama 2 minggu. Mereka murid murid saya yang baru lahir ketika negara kita memasuki era REFORMASI.

"Kemudian apa hubungan masalah KPK dan POLRI dengan partai GOLKAR?" saya merasa bodoh karena harus mengulang pertanyaan yang sama. Ya, saya tengah berusaha mempelajari jalan pikiran murid murid saya. Saat ini saya yang jadi murid dan mereka yang menjadi guru.

Mereka masih dengan semangat yang saya dan tetap tertib secara bergantian saling menimpali dengan bangunan argumentasi yang membuat saya tercengang.

Mereka menyampaikan, "Bukankah pilpres 2014 menghasilkan 2 koalisi pak, KMP dan KIH"

"Parpol apa saja yang berkumpul dalam KMP dan KIH?"

Mereka bertanya sekaligus menjelaskan seperti sedang asyik mengurai teka teki. Mereka membedah KMP. Koalisi yang terdiri dari Gerindra (dan ramai ramai mereka mengatakan bukankah itu "Golkar" juga?), partai Golkar (ya, itu jelas "Golkar" juga), partai PPP (kembali mereka serentak mengatakan partai itu dibentuk oleh pemerintahan GOLKAR ORBA), partai PKS (mereka ternyata melakukan riset mendalam dan memperoleh fakta tetap ada orang ORBA di dalamnya). Partai PAN (mereka menemukan dalam riset parpol baru di era reformasi itu tetapi tokohnya juga pendukung zaman ORBA. Mereka memasukkan partai Demokrat ke dalam koalisi ini dengan alasan partai Demokrat memiliki hubungan kekeluargaan dengan KMP (dan hasil riset mereka menunjukkan tetap ada hubungannya dengan ORBA).

Saya jadi penuh ingin tahu apa hasil riset mereka tentang KIH.

Mereka dengan fasih menyampaikan hasil riset mereka tentang PDI-P (mereka memulainya dari keberadaan PDI bentukan ORBA hingga terbentuk PDI-P dan bertemu di pemilu 1999. PDI tidak memenuhi electoral thereshold sehingga tidak bisa maju lagi dalam pemilu berikutnya, kecuali menjadi parpol baru). Partai Nasdem (mereka menunjukkan posisi ketum Nasdem di tubuh Golkar sebelumnya). Partai Hanura (yang juga mereka dapatkan hubungannya dengan GOLKAR era ORBA) termasuk dengan partai PKPI (yang menurut mereka tidak lepas dengan era GOLKAR ORBA).

Kemudian dengan lugu mereka bertanya: "Apakah PDI-P menghadapi kembali zaman seperti yang pernah terjadi di era ORBA yang tampil dengan baju baju baru parpol2 di era REFORMASI?"

Saya tidak pernah berpikir bahwa itulah hasil riset murid murid saya sehingga saya berdalih, masih dengan pertanyaan yang kurang lebih sama (senangnya menjadi guru saya punya otoritas untuk berdalih kapan pun saya mau),"Kemudian apa hubungannya dengan masalah POLRI dan KPK saat ini?"

Mereka saling berpandangan. Mereka hanya murid murid SMA yang tengah menajamkan logika berpikir mereka. "Bukankah POLRI sudah ada sejak Indonesia merdeka? Bagaimana kinerja POLRI sebagai bagian dari ABRI di era ORBA? Bagaimana kinerja POLRI yang berdiri sendiri sebagai salah satu lembaga penegak hukum terlepas dari TNI di era Reformasi?" Mereka kemudian terdiam

Lanjutkan, kata saya.

"KPK dibentuk di era reformasi, karena POLRI masih belum berubah juga menjadi lembaga penegak hukum yang dapat dipercaya mengakkan hukum secara bersih berwibawa. POLRI masih belum bisa lepas dari kooptasi politik sebagaimana di era ORBA dan di era Reformasi juga."

"Apakah waktu 10 tahun masih belum cukup untuk membangun POLRI yang bersih dan berwibawa menegakkan hukum pak?"

"Kemudian apa hubungannya dengan mental GOLKAR era ORBA?" saya sengaja menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

"Itu yang ingin kami tahu pak? Apakah mental GOLKAR di era ORBA yang sering mengkooptasi hukum sudah berubah di era reformasi ini, jika selama 10 tahun terakhir ini ternyata negara ini tidak bisa juga membangun POLRI yang bersih berwibawa."

"Kenapa mental Golkar era ORBA yang selalu mengkooptasi hukum untuk kekuasaan masih terus berlangsung pak?" mereka murid murid SMA dan sudah sepatutunya mereka banyak bertanya.

"Kenapa kalian berpikir seperti itu? tanya saya

"Karena bapak menyuruh kami merisetnya bukan? Dan yang kami dapatkan selama 10 tahun terakhir institusi penegak hukum yakni POLRI tidak pernah lepas dari kooptasi kepentingan kekuasaan. Sementara KPK terus berusaha dilemahkan selama beberapa tahun terakhir ini dengan upaya revisi Undang Undang KPK," jelas mereka bertubi tubi

"Kemudian?" tanya saya tanpa daya

"Pak, foto foto rekayasa seperti yang ada di media pun kami telah mampu membuatnya, bahkan membuat suara yang mirip pun sudah ada aplikasinya. Apakah suasana keriuhan masalah KPK dan POLRI hampir serupa keriuhan waktu kampanye pilpres yang lalu, penuh hujat saling lempar tuduhan dan fitnah pak?"

Saya menatap dengan penuh cinta kepada murid murid saya. Mereka baru  lahir dan masih bayi ketika negara ini dilanda huru hara memasuki Era Reformasi.

"Menurut kalian apa yang menyebabkan terjadi masalah KPK dan POLRI?" tanya saya perlahan.

"Karena nafsu untuk menuntut pembagian kekuasaan melalui tekanan tekanan politik dan ternyata mental korupsi, kolusi dan nepotisme belum berhasil diberantas pak."

"Apakah itu kesimpulan dari riset kalian?" saya bertanya dengan lega karena paling tidak murid murid saya berhasil mengambil kesimpulan dari riset dan diskusi mereka.

"Masih ada pak, media massa turut meruncingruncingkan masalah pro dan kontra disini bahkan melebaikan kutipan wawancara atau pernyataan yang ada."

Saya tertawa karena sepanjang presentasi mereka yang penuh pertanyaan baru sekali ini mereka memakai istilah slank "lebay".

"Ada lagi yang turut meruncing runcingkannya? tanya saya benar benar lega karena jam pelajaran saya memang sudah hampir habis.

"Oh ya para pengamat dadakan di media sosial. Persis ketika G30S/PKI pak modusnya. Juga persis desas desus ketika Era Reformasi. Internal dan eksternal campur baur siapa lawan siapa,siapa teman siapa" tambah mereka sambil tertawa.

"Menurut kalian apa yang menyebabkan seperti itu?" tanya saya menjelang beberapa menit sebelum bel berbunyi.

"Karena mental ORBA yang masih bercokol pak. Uang dan janji kekuasaan menjadi pokok permasalahannya<" jawab mereka tnnpa ragu.

Saya melihat murid murid saya dengan pandangan baru. Saya terus terang malu karena saya pun dalam berbagai jejaknya masih bermental ORBA, tepatnya penerus mental ORBA yang negatif. Saya akan menjelaskan kepada mereka bahwa ada positif tentu dari zaman ORBA. Saya turut menyesal jika murid murid saya dalam riset 2 minggu yang mereka lakukan ternyata menemukan mental berpolitik ORBA secara negatif yang masih berlanjut hingga kini.

Saya terharu. Untuk pertama kalinya saya bersyukur menjadi guru sejarah. Saya bangga terhadap murid murid saya karena hari ini saya yang belajar dari mereka.

"Terima kasih anak anak. Terima kasih karena untuk pertama kalinya bapak bangga menjadi guru sejarah karena bapak yang hari ini belajar dari kalian," kata saya dengan mata berkaca kaca.

"Bapak lebay ah," kata mereka sambil bertepuk tangan berterima kasih atas pujian saya untuk mereka.

Saya guru sejarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun