Mohon tunggu...
Aluska Alus
Aluska Alus Mohon Tunggu... -

the deeper wisdom bringing in its own way the special request to pass

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Golkar Menyeret Semua Ke Dalam Dosa Masa Lalu

13 Februari 2015   13:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:16 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya seorang guru yang menolak ketika dicalonkan menjadi kepala sekolah. Saya tidak tertarik untuk menjadi seorang administrator. Liwat seorang pengawas, beberapa pengawas sekolah saya dibujuk untuk mau dicalonkan dalam bursa pemilihan kepala sekolah di sekolah saya. Saya tegas menolak. Saya tidak tertarik.

Tidak! Saya tidak tertarik masuk sebagai calon dalam bursa pemilihan kepala sekolah. Sekarang ini menjadi kepala sekolah pun harus menjadi dayang dayang pengabdi kepada kepentingan yang sangat artifisial menjerumuskan lembaga pendidikan sebagai ladang baru sekedar untuk menarik dana dari masyarakat alias orang tua.

Saya termasuk yang setuju sekolah gratis. Menurut saya pendidikan dasar dan menengah memang sebaiknya gratis. Negara sanggup untuk memberikan pendidikan yang berstandar bermutu bagi seluruh peserta didik di negara ini. Tetapi, sekolah gratis itu terjerumus hanya menjadi objekan kampanye para calon kepala daerah. Para calon walikota, bupati, gubernur gagah, lantang berbusa busa meyakinkan rakyat untuk memilih mereka dengan iming iming sekolah gratis, kenyataannya hanya untuk mengisap anggaran bagi kepentingan pribadi dan kelompok mereka saja.

Saya bukan bicara serampangan. Banyak orang kaya baru di Era Reformasi ini. Negara kita Gemah Ripah Loh Jinawi. Dahulu hanya dinikmati oleh penguasa dan kroninya serta pendukung semua kebijakan meninggalkan semua hati nurani kecuali turut mencicipi kekayaan, sekarang juga sama tidak ada bedanya hanya kue terbagi lebih merata dengan kerakusan yang sama dari perluasan kroni dan para pendukungnya.

Dahulu pendukung kerakusan utama adalah orang orang yang dibesarkan sebagai pengusaha "istana", sekarang ini pendukung kerakusan itu orang orang seperti saya. Pendidik. Ya, pendidik dalam artian luas. Pendidik di dalam masyarakat yang serta merta turut membolak balik logika demi kepentingan para pengelola kekayaan negara ini.

Bukan saya saja yang menolak menjadi kepala sekolah. Semua guru di sekolah saya menolak dicalonkan menjadi kepala sekolah. Setahu kami, kedudukan kepala sekolah yang sebelumnya telah dipindah ke pelosok akhirnya akan diganti dengan kepala sekolah droping pilihan kepala daerah kami yang baru. Kami semua guru tidak ada yang kasak kusuk menolak. Kami akan menerima siapapun itu karena kami yakin kami adalah guru profesional berkompeten karena tujuan kami adalah mendidik murid murid kami dengan ilmu pengetahuan, menanamkan sikap dan perilaku berpengathuan dengan akhlak dan memiliki ketrampilan bukan hanya fisikal melainkan ketrampilan menggunakan pikiran yang berdasarkan akhlak yang baik dan benar.

Mungkin melihat kami para guru memiliki keyakinan yang tidak mencla mencle, yang tidak menjadi pribadi yang melihat arah angin dan hanya bermental mengambil kesempatan untuk kepentingan sendiri, akhirnya yang berwenang di daerah kami memilih seorang guru di sekolah kami sendiri untuk menjadi kepala sekolah. Kebijakan pertama yang diambil kepala sekolah kami menolak untuk dipilih sebagai sekolah pilot untuk Kurikulum 2013. Alasannya kuat, Kurikulum 2013 belum siap bahkan untuk diujicobakan. Buku buku wajibnya saja belum ada saat itu, walau kemudian rencananya akan ada tiga buku wajib.

Secara tradisional yang mengikuti kemajauan zaman sekolah kami mendorong para guru untuk mengeksplorasi metodologi pendidikan untuk dipraktekkan dalam pengajaran di kelas. Yang terpenting, bukan metodologinya tetapi sejauh mana seorang guru mengenal setiap murid yang dimapuhnya di dalam kelas. Kelas menjadi unit utama di sekolah kami. Dan, tujuan pendidikan adalah membuka dan memberi kesempatan setiap anak di sekolah kami untuk meningkatkan dan mengembangkan potensinya tanpa harus terpengaruh dengan siapapun di kelas. Mereka memiliki hak yang sama, tidak memandang apakah dia memang pintar atau anak kaum berpunya. Di kelas mereka adalah peserta didik yang hak dan kewajibannya sama. Belajar. Belajar untuk menjadi warga negara yang memahami hak dan kewajibannya.

Untuk bab mata pelajaran kali ini saya memilih untuk menugaskan setiap murid melakukan pendalaman pribadi dan menyusunnya dalam sebuah karangan yang akan dipresentasikan masing masing. Hari ini hari presentasi. Setiap murid kelihatan antusias. Murid murid saya tahu, kompetensi saya sudah seperti cenayang yang akan segera tahu sumber apa yang mereka pakai, alur pikir apa yang mereka gunakan dan apakah yang mereka tuliskan memang buah pergulatan pikir mereka sendiri atau sekedar mengupah orang lain untuk menuliskannya bagi mereka. Murid murid sekarang memang lebih canggih, mereka bisa meminta orang lain membuatkan segala sesuatu yang menjadi tugas mereka dan kemudian mengklaim itu karya mereka sendiri. Itu cerita guru guru dalam musyawarah guru per mata pelajaran di daerah kami. Bukan terjadi di sekolah kami. Walau tetap ada satu dua yang tetap culas mencoba melakukannya, dan mereka juga harus belajar tentang integritas. Perlu proses.

Sejauh ini, dalam 2 jam pelajaran, telah 5 anak yang maju mempresentasikan hasil kerjanya. Tidak ada tanya jawab. Masing masing memiliki waktu 10 menit terhitung dari mereka berdiri dari bangkunya, mempersiapkan alat peraga jika diperlukan atau sekedar membacakan karyanya.

Saya kemudian berusaha tetap fokus mendengarkan apa yang dipresentasikan di antara dengungan dan lenguhan mruid murid lain yang duduk mendengarkan. Dari dengungan dan lenguhan yang ada saya bisa mengambil kesimpulan sementara mengenai teknik presentasi dan substansi presentasi.

Apa yang disampaikan oleh murid murid saya tidak ada bedanya dengan apa yang disampaikan dalam berita di media mainstream cetak maupun online, yang tertampilkan di semua televisi. Semua memilih sudut pandang yang akan membuat meeka terlihat cerdas. Untuk tingkat SMA, saya mewajibkan setiap murid saya untuk menyebutkan sumber bacaan (melalui penglihatan atau penampakan) yang mereka ambil, kutipan langsung dan tidak langsung. Pada kesimpulan baru mereka menyampaikan isi kepala mereka sendiri itu pun harus berdasar dari teori yang telah ada. Untuk tingkat SMA saya melarang mereka untuk berkesimpulan dengan kepalanya sendiri, kecuali mereka telah menguasai permasalahan dan memehami teori yang mereka pakai. Bukan apa apa saya hanya ingin mereka memahami cara pikir yang berpengetahuan bukan berdasarkan emosi terhadap yang mereka bahas.

Saya menunjuk mereka secara acak. Berikutnya saya memilih seorang murid saya yang berperawakan seakan tidak memperhatikan kegenitan zaman yang begitu bertele tele memperhatikan penampilan. Ia seorang yang percaya diri dengan perawakannya. Termasuk pendiam namun disukai oleh teman temannya bukan karena ia seorang yang selalu berusaha mencari perhatian atau mencuri perhatian. Tetapi karena ia memiliki rasa empati yang tidak dibuat buat. Ia seorang murid yang biasa saja. Tidak pernah berusaha menarik perhatian guru, tidak pernah berusaha keras menarik perhatian teman temannya tertumpah pada dirinya dengan cara cara modern untuk menjadi "bungkus yang indah" apapun itu isinya.

Dia dengan tenang mempersiapkan infocus di dalam kelas, memasukkan flashdisk. Segera muncul musik membahana di layar dengan montage visual visual kejadian yang aktual, kutipan kutipan dari para tokoh yang memang mengelola negara ini. Semua terdiam. Tidak sebagimana penampilannya yang cenderung sederhana, penguasaan IT sangat mengagumkan.

Dia berdiri, dengan suara yang seperti datang dari gurun pasir terbawan angin utara diam mulai menyampaikan pendalamannya.

"Sejarah penyelenggaraan negara ini, semua cabang pemerintahan, birokrasi masih kuat dipengaruhi, dan yang masih menjadi satu satunya variabel dalam menentukan arah negara kita hingga saat ini adalah Golkar." Kelas agak gelap, di papan tulis tampak pantulan power point yang memperkuat argumentasinya.

Dia melanjutkan, dengan membaca dan mengatur ritme powerpoint sejalan dengan apa yang disamapaikan.

"Dimana Golkar sekarang? Mengikuti pola koalisi dalam pemilihan presiden yang lalu terdapat dua koalisi yang rigid, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Dalam pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) Golkar hampir selalu menduduki tempat nomor dua termasuk tahun lalu. Tidak mengherankan, karena selama 32 tahun partai politik ini telah menguasai dan menjadi sumber daya manusia keparpolan dan sumber daya birokrasi yang menguasai semua sektor hajat hidup masyarakat hingga ke pelosok. Ini dibutikan dengan kehadiran babinsa."

"Siapa dan apa Golkar saat sekarang ini. Baik di eksekutif, maupun legislatif. Di koalisi KMP Golkar tetap yang terkuat karena sumber daya manusia mereka ada di semua parpol peserta koalisi." Dalam powerpointnya terlihat diagram keparpolan dan sosok sosok mengikuti apa yang dijelaskannya.

"Apakah ada Golkar di dalam KIH. Ada !. Wakil Presiden adalah petinggi Golkar. Parpol pendukung KIH adalah Golkar, yang sekarang menjadi dan terbagi ke dalam parpol baru Hanura dan Nasdem. PKPI parpol baru yang didirikan oleh jendral di masa lalu sebagaimana parpol parpol lain yang juga menjadi ajang aktifitas politik mantan para jendral masa lalu. Tentu mereka boleh berpolitik setelah pensiun dan atau harus berhenti dari angkatan atau kepolisian jika mereka memilih sebagai poltisi aktif, di kepartaian atau sebagai wakil rakyat atau sebagai pejabat negara."

"Golkar memiliki dosa masa lalu. Apakah Golkar memiliki komitmen untuk menebus dosa dosa masa lalunya atau ingin mengembalikan keriangan dosa masa lalu untuk diimplementasikan kembali sekarang ini. Konflik KPK dan Polri adalah rentetan dosa masa lalu Golkar yang tidak berhasil atau tidak mau diselesaikan di Era Reformasi ini."

"Sumber daya manusia Golkar memiliki kapital untuk mengembalikan kejayaan Golkar masa lalu dalam segala bentuknya di Era Reformasi. Dan, jika mereka bersatu, rakyat akan digiring untuk menyalahkan pihak yang selama ini selalu dianggap sebagai penghambat sepak terjang Golkar....."

Suara murid saya yang sedang melakukan presentasi tertelan dengan suara ramai teman temannya, "Interupsi, interupsi. Diskusi pak, harus dibuka diskusi pak. Interupsi."

"Tenang. Kelas tenang!" dengan tegas saya memerintahkan kelas saya untuk menjadi tenang. Mereka menurut. Di kelas saya adalah pemegang otoritas tertinggi, dan murid murid saya adalah mitra. Saya mengajarkan kepada mereka cara cara menghormati otoritas. Tidak boleh semua amburadul memaksakan kehendak. Ada aturannya, tidak boleh grusa grusu.

"Saya telah membuat aturan tidak ada tanya jawab dalam presntasi kali ini. Tetapi, melihat antusiame kelas, saya yakin dapat memenuhi permintaan kelas. Saya pun wajib bertanya kepada presnter apakah dia siap untuk melakukan tanya jawab." Murid saya tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya.

Tanpa menunggu instruksi saya, seorang murid langsung berdiri.

"Dari presentasi yang Anda sampaikan, buktikan lebih jauh apakah "Golkar" yang menyeret kita untuk kembali ke dosa masa lalu?"

Kelas saya jadi ramai dengan diskusi, debat.

Saya berkewajiban untuk mengarahkan diskusi tetap berlandaskan ilmu pengetahuan bukan menjadi debat kusir tidak keruan. Saya pun anti meracuni pikiran murid murid saya. Saya guru yang memiliki komptensi, kredibilitas dan inegritas yang tinggi.

Saya bukan penggiring angin !!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun