Aku sangat bersyukur memiliki sahabat sepertinya. Namun, saat itu, saat aku bercerita kepadanya bahwa aku merasa patah hati, karena melihat orang yang aku sukai berjalan dan bergandengan tangan dengan perempuan lain. Ivan tidak mencoba untuk menghiburku atau menenangkanku. Ia malah mengungkapkan perasaannya kepadaku.
"Sudahlah, kamu tak perlu memikirkannya lagi. Biar kamu pikirkan aku saat ini. Orang yang mencintaimu." Ungkapnya.
Aku yang saat itu mendengar ucapannya. Seketika, terdiam seribu bahasa.
"Aku tahu, kamu hanya menganggapku sahabat Ris. Tapi lihatlah aku saat ini. Lihatlah perasaanku. Jangan kau lihat lelaki bajingan itu lagi, aku tak sanggup melihatmu sakit hati seperti ini, Risa." Luapan isi hati Ivan terlihat jelas dari sorotan matanya.
Aku sontak menampar Ivan, saat ia bilang bahwa Angga, orang yang aku suka, dengan sebutan "bajingan". Sorot amarahku terlihat jelas dari kedua bola mataku. Bak api yang sedang membara.
"Kamu tidak berhak menyebutnya bajingan!" Jelasku dengan penuh amarah.
Ivan menjawab, "Jika ia bukan bajingan, mengapa ia meninggalkanmu? Mendekatimu hanya untuk memanfaatkanmu saja."
Kepalaku sudah sangat berat. Begitupun dengan hatiku yang sudah tak karuan. Aku tak ingin memperpanjang pertikaian ini dengan Ivan. Aku tak ingin persahabatan ini hancur. Maka dari itu, aku pergi dari hadapannya.
Selama satu bulan kami tak pernah bertemu, bertukar pesan pun tidak. Akupun tidak pergi ke kedai saat itu. Aku mengerjakan semua pekerjaan hanya di rumah.
Dua bulan setelah pertikaian itu, Ivan meneleponku. Dengan nada cemas ia berkata, "Ris, bolehkah aku minta tolong, Molly akan melahirkan, aku tidak tahu harus bagaimana, aku mohon, datanglah ke rumahku."
Aku tersenyum. Mengingat bahwa Ivan begitu menyayangi kucingnya. Dalam hati aku berkata, "Tentulah aku akan membantumu."