"Tidak, aku tidak ingin merepotkanmu, Van." Aku memberikan uang kertas kepadanya, dan segera pamit untuk pulang. Namun, Ivan menahanku pergi.
"Kamu tahu kan Ris, Aku sudah berjanji akan mentraktirmu." Jelas Ivan.
"Tidak, Van. Simpan saja uang itu untuk keperluan mendesak. Terima kasih atas tawaranmu." Aku beranjak pergi dari hadapan Ivan.
Aku bertemu Ivan satu tahun lalu, di kedai ini. Dia seorang barista, dan aku seorang pelanggan. Setiap malam, aku berkunjung ke kedai hanya sebatas untuk berdiam diri, atau hanya menikmati susu murni hangat. Aku pun menjadi lebih dekat dengannya. Selain itu, aku juga menjadi pelanggan tetap kedai ini.
Ivan dua tahun lebih tua dariku. Namun, ia enggan untuk dipanggil "Mas" olehku.
"Panggil saja Ivan." Dengan nada yang begitu dingin.
Aku merasa ia tidak nyaman jika ku panggil dengan sebutan "Mas".
Hari demi hari aku dan Ivan semakin dekat. Layaknya sahabat, kita selalu menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Ivan sangat suka menonton film, dan aku sangat suka membaca buku fiksi. Maka, akhir pekan kami pun diisi dengan pergi ke bioskop, atau pergi ke toko buku dan perpustakaan.
Ivan tak pernah merasa bosan jika aku mengajaknya ke perpustakaan atau pergi berbelanja buku. Ia malah ikut membelikan buku dan merekomendasikan buku pilihannya.
"Lihatlah, ini genre buku kesukaanmu, tentang seorang wanita cerdas dan tangguh yang tiba-tiba harus mengikuti sebuah permainan mematikan." Ucap Ivan pada saat itu di toko buku. Matanya berbinar seolah ia telah menemukan harta karun. Aku heran, harusnya itu aku yang merasa sangat senang. Tapi Ivan jauh lebih senang dari dugaanku.
Ivan sangat tahu tentang semua hal yang aku suka, dan hal yang aku tak suka. Aku mengagumi sikapnya. Begitu perhatiannya Ivan dengan hal-hal kecil yang bahkan aku sendiri pun kadang tidak melihat, dan memperhatikannya.