Hari-hari berlalu, namun bayangan tentang malam itu terus menghantui Amran. Ia merindukan ayahnya, namun ia juga merasakan dorongan yang kuat untuk melanjutkan perjuangan.Â
Setiap kali melihat bendera penjajah yang berkibar di pos terdekat, hatinya dipenuhi dengan kebencian yang mendalam.
Pada suatu sore, ketika Amran sedang membantu ibunya di ladang, sekelompok pejuang datang ke rumahnya. Mereka membawa kabar bahwa ayahnya telah gugur dalam pertempuran, namun mereka juga membawa harapan.Â
"Kami butuh pemuda-pemuda pemberani untuk melanjutkan perjuangan ini," kata salah satu dari mereka. Amran, yang kini telah tumbuh menjadi remaja, tahu bahwa inilah saatnya ia mengambil alih tanggung jawab yang ditinggalkan ayahnya.
Dengan tekad yang bulat, Amran memutuskan untuk bergabung dengan para pejuang. Ibunya, meskipun diliputi rasa cemas, tidak bisa menahan keinginan putranya.Â
"Kau adalah anak seorang pejuang, Amran," katanya dengan suara bergetar. "Pergilah, dan pastikan perjuangan ayahmu tidak sia-sia."
Malam itu, dengan hati yang penuh semangat, Amran meninggalkan rumahnya untuk bergabung dengan para pejuang di hutan.Â
Ia tahu bahwa jalan yang akan ditempuhnya tidak akan mudah, namun ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian ayahnya---impian tentang kemerdekaan.
Di hutan, Amran belajar banyak hal. Ia belajar cara menggunakan senjata, cara bertahan hidup, dan yang terpenting, ia belajar tentang arti pengorbanan. Setiap kali mereka berhasil menyerang pos penjajah, setiap kali mereka melihat bendera penjajah diturunkan, Amran merasakan semangat yang tak tergoyahkan.Â
Namun, di balik itu semua, ia juga merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Beban untuk terus berjuang, untuk memastikan bahwa pengorbanan ayahnya dan para pejuang lainnya tidak sia-sia.
Bertahun-tahun kemudian, ketika desanya akhirnya terbebas dari penjajahan, Amran kembali ke rumahnya.Â