Mohon tunggu...
Alun Riansa Pakaya
Alun Riansa Pakaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa yang antusias menulis, mengeksplorasi ide-ide baru dan mengembangkan kreativitas melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak di Tanah Perjuangan

17 Agustus 2024   11:10 Diperbarui: 20 Agustus 2024   11:25 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Kling AI - seorang anak lelaki bernama Amran yang berusia sekitar 12 tahun, mengenakan pakaian sederhana dari era penjajahan.

Di sebuah desa terpencil yang dikelilingi oleh hutan lebat dan sawah hijau, hiduplah seorang anak bernama Amran. Ia lahir di masa yang penuh gejolak, ketika bangsa ini tengah berjuang melepaskan diri dari belenggu penjajahan. 

Amran, anak sulung dari tiga bersaudara, telah terbiasa melihat kehidupan penuh kesederhanaan namun sarat akan keberanian.

Setiap hari, Amran membantu ibunya di ladang, menanam padi dan mencari kayu bakar. Ayahnya, seorang petani yang sekaligus menjadi pemimpin gerakan perlawanan di desanya, seringkali pergi dalam waktu lama. 

Di malam hari, ketika suara jangkrik mulai terdengar nyaring, Amran dan keluarganya berkumpul di sekitar lampu minyak yang temaram. Ayahnya akan berbicara tentang perjuangan, tentang kemerdekaan yang harus diperjuangkan dengan darah dan air mata.

Suatu malam, suara langkah kaki yang tergesa-gesa membangunkan Amran dari tidurnya. Dari celah dinding bambu rumahnya, ia melihat ayahnya mengenakan seragam lusuh dan berbisik kepada ibunya. 

"Malam ini kita akan menyerang pos penjajah di bukit," katanya. Mata Amran yang masih mengantuk seketika terbuka lebar. Ia tahu, malam itu mungkin ayahnya tidak akan kembali.

Sebelum berangkat, ayahnya menghampiri Amran yang berpura-pura masih tertidur. Dengan lembut, ia mengelus kepala putranya dan berbisik, "Kau harus kuat, Amran. Suatu hari nanti, kau akan menjadi penerus perjuangan ini." 

Kata-kata itu tertanam dalam-dalam di hati Amran.

Malam itu, Amran tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi bayangan tentang pertempuran, tentang bagaimana ayahnya akan menghadapi musuh yang jauh lebih kuat dan lebih bersenjata. 

Pagi harinya, desanya dipenuhi dengan kabar duka. Beberapa pejuang kembali dengan luka-luka, namun ayahnya dan beberapa yang lain tidak pernah kembali. Ibunya menangis dalam diam, berusaha menyembunyikan kesedihannya dari anak-anaknya.

Hari-hari berlalu, namun bayangan tentang malam itu terus menghantui Amran. Ia merindukan ayahnya, namun ia juga merasakan dorongan yang kuat untuk melanjutkan perjuangan. 

Setiap kali melihat bendera penjajah yang berkibar di pos terdekat, hatinya dipenuhi dengan kebencian yang mendalam.

Pada suatu sore, ketika Amran sedang membantu ibunya di ladang, sekelompok pejuang datang ke rumahnya. Mereka membawa kabar bahwa ayahnya telah gugur dalam pertempuran, namun mereka juga membawa harapan. 

"Kami butuh pemuda-pemuda pemberani untuk melanjutkan perjuangan ini," kata salah satu dari mereka. Amran, yang kini telah tumbuh menjadi remaja, tahu bahwa inilah saatnya ia mengambil alih tanggung jawab yang ditinggalkan ayahnya.

Dengan tekad yang bulat, Amran memutuskan untuk bergabung dengan para pejuang. Ibunya, meskipun diliputi rasa cemas, tidak bisa menahan keinginan putranya. 

"Kau adalah anak seorang pejuang, Amran," katanya dengan suara bergetar. "Pergilah, dan pastikan perjuangan ayahmu tidak sia-sia."

Malam itu, dengan hati yang penuh semangat, Amran meninggalkan rumahnya untuk bergabung dengan para pejuang di hutan. 

Ia tahu bahwa jalan yang akan ditempuhnya tidak akan mudah, namun ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian ayahnya---impian tentang kemerdekaan.

Di hutan, Amran belajar banyak hal. Ia belajar cara menggunakan senjata, cara bertahan hidup, dan yang terpenting, ia belajar tentang arti pengorbanan. Setiap kali mereka berhasil menyerang pos penjajah, setiap kali mereka melihat bendera penjajah diturunkan, Amran merasakan semangat yang tak tergoyahkan. 

Namun, di balik itu semua, ia juga merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Beban untuk terus berjuang, untuk memastikan bahwa pengorbanan ayahnya dan para pejuang lainnya tidak sia-sia.

Bertahun-tahun kemudian, ketika desanya akhirnya terbebas dari penjajahan, Amran kembali ke rumahnya. 

Desa yang dulu dipenuhi dengan kesedihan dan ketakutan kini telah berubah menjadi desa yang penuh dengan kebahagiaan dan harapan. 

Namun, di balik senyumannya, Amran tahu bahwa perjuangan belum usai. Ia tahu bahwa kemerdekaan yang telah mereka raih harus dijaga dengan segenap jiwa dan raga.

Di hadapan makam ayahnya, Amran berjanji bahwa ia akan terus melanjutkan perjuangan ini, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk generasi-generasi yang akan datang. 

"Ayah, aku telah melanjutkan jejakmu," bisiknya. Dan di bawah langit yang cerah, Amran tahu bahwa perjuangan di tanah kelahirannya tidak akan pernah berakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun