Mohon tunggu...
Alun Riansa Pakaya
Alun Riansa Pakaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa yang antusias menulis, mengeksplorasi ide-ide baru dan mengembangkan kreativitas melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelukan Terakhir Ibu di Bawah Hujan

15 Agustus 2024   02:22 Diperbarui: 15 Agustus 2024   02:25 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Kling AI (klingai.com/) - Pelukan Terakhir Ibu di Bawah Hujan

Malam itu, langit mendung menyelimuti desa kecil di pinggir hutan. Angin dingin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah yang khas. Suara gemerisik daun dan kicauan burung malam terdengar sayup-sayup, menyatu dengan kesunyian yang merasuk hingga ke tulang. Di sebuah rumah kayu yang sederhana, seorang wanita paruh baya duduk di tepi ranjang, memandang foto-foto lama yang tersusun rapi di dalam album lusuh.

Matanya yang lelah menelusuri setiap gambar dengan penuh kerinduan. Di sana, ada potret seorang anak laki-laki kecil dengan senyum lebar, berlarian di ladang bunga, tangannya menggenggam erat tangan ibunya. Ibu itu, yang kini sudah mulai menua, tersenyum samar. Ingatan tentang masa-masa itu membawanya kembali pada waktu di mana segalanya terasa lebih mudah, lebih cerah, dan penuh harapan.

Anak laki-laki itu kini telah dewasa, namun telah lama meninggalkan desa kecil ini untuk mengejar impian di kota besar. "Kau akan menjadi kebanggaanku," kata ibu itu saat melepas kepergiannya bertahun-tahun yang lalu. Namun, harapan yang besar itu kini hanya tersisa menjadi bayangan samar di balik ketidakpastian. Waktu berlalu tanpa kabar, hanya doa yang selalu dilangitkan setiap malam, berharap anaknya baik-baik saja.

Hujan mulai turun, rintik-rintik lembut yang menyelimuti desa. Sang ibu menghela napas, menutup album itu dengan hati yang terasa berat. Hatinya selalu diliputi kekhawatiran yang tak pernah bisa terucap. Tetesan hujan di luar jendela mengingatkannya pada malam ketika anaknya sakit demam tinggi. Malam itu, ia terjaga sepanjang malam, memeluk anaknya erat-erat, berharap demamnya akan segera turun. Pelukan itu, seakan menjadi benteng pelindung dari segala kesulitan yang ada di dunia.

Saat itulah terdengar ketukan di pintu. Ketukan pelan namun cukup untuk memecah kesunyian malam. Sang ibu terkejut, jarang sekali ada tamu yang datang di tengah hujan seperti ini. Ia berjalan pelan menuju pintu, sedikit gemetar, merasakan firasat yang entah bagaimana terasa begitu kuat. Ketika pintu dibuka, di depannya berdiri seorang pria muda dengan pakaian basah kuyup, rambutnya tergerai acak oleh hujan.

"Ibu..." suaranya lirih, seperti suara anak kecil yang tersesat di tengah malam.

Sang ibu membeku sejenak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Raka..." ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Pria muda itu adalah anaknya, yang telah bertahun-tahun pergi tanpa kabar. Tanpa berpikir panjang, ia langsung memeluk Raka erat-erat, merasakan kehangatan tubuhnya yang menggigil kedinginan.

"Aku pulang, Bu," bisik Raka dengan suara yang hampir tertelan isak tangis.

Air mata ibu itu jatuh tak terbendung, bercampur dengan air hujan yang membasahi rambutnya. Ia memeluk Raka seolah-olah tidak ingin melepaskannya lagi, merasakan detak jantung yang dulu pernah ia dengar setiap kali menidurkan anaknya di dada.

Mereka berdua duduk di dekat perapian, sementara sang ibu membuatkan teh hangat untuk mengusir dingin yang menyelimuti tubuh Raka. Mereka berbicara dalam keheningan, tidak banyak kata yang terucap, namun kehadiran masing-masing sudah lebih dari cukup untuk mengungkapkan segala rasa rindu yang telah lama terpendam.

Raka bercerita tentang hidupnya di kota, tentang kesuksesan yang diraih dan juga kegagalan yang menyakitkan. Ia bercerita tentang kerinduan yang selama ini ia coba abaikan, namun akhirnya membawa dirinya kembali pulang. Sang ibu mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak ada rasa marah, tidak ada kekecewaan. Hanya cinta dan pengertian yang terpancar dari sorot matanya.

Hujan di luar semakin deras, namun di dalam rumah kecil itu, kehangatan mulai menyelimuti. Raka merasa dirinya kembali menjadi anak kecil yang selalu dilindungi oleh ibunya. Ia tahu, selama apapun ia pergi, sejauh apapun ia melangkah, tempat ini, pelukan ini, akan selalu menjadi rumah baginya.

Saat malam semakin larut, Raka merasa sangat lelah, baik secara fisik maupun emosional. Sang ibu mengajaknya untuk beristirahat. Namun, sebelum menuju kamar, Raka sekali lagi memeluk ibunya, kali ini lebih erat, seolah ia tidak ingin melepaskannya.

"Terima kasih, Bu, sudah menunggu," ucap Raka lirih.

Sang ibu hanya tersenyum, air matanya kembali mengalir. "Ibu akan selalu menunggumu, Nak," jawabnya.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Raka tidur dengan damai di rumahnya sendiri, di bawah atap yang telah melindunginya sejak ia lahir. Dan sang ibu, duduk di sampingnya, mengusap lembut rambut anaknya, memastikan ia tidur dengan tenang.

Namun, pagi itu, ketika sinar matahari pagi mulai menembus jendela, Raka terbangun dan merasakan sesuatu yang aneh. Rumah terasa sangat sunyi, terlalu sunyi. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan mencari ibunya. Ketika ia menemukannya, sang ibu masih duduk di tempat yang sama, di kursi dekat ranjang, namun matanya sudah terpejam untuk selamanya.

Raka jatuh berlutut, memeluk tubuh ibunya yang sudah dingin. Air matanya mengalir deras, namun tidak ada lagi kata-kata yang bisa terucap. Di tengah hujan yang mulai reda, pelukan terakhir ibunya semalam menjadi kenangan yang akan selalu terpatri di hatinya. Sebuah pelukan yang membawa kedamaian, namun juga perpisahan yang tak akan pernah bisa ia lupakan.

Raka tahu, ibunya telah pergi dengan tenang, mengetahui bahwa anaknya telah kembali ke pelukannya, walau hanya untuk sesaat. Dan di bawah hujan, di desa kecil itu, kisah tentang seorang ibu dan anaknya berakhir dengan keheningan yang penuh arti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun