Malam itu, langit mendung menyelimuti desa kecil di pinggir hutan. Angin dingin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah yang khas. Suara gemerisik daun dan kicauan burung malam terdengar sayup-sayup, menyatu dengan kesunyian yang merasuk hingga ke tulang. Di sebuah rumah kayu yang sederhana, seorang wanita paruh baya duduk di tepi ranjang, memandang foto-foto lama yang tersusun rapi di dalam album lusuh.
Matanya yang lelah menelusuri setiap gambar dengan penuh kerinduan. Di sana, ada potret seorang anak laki-laki kecil dengan senyum lebar, berlarian di ladang bunga, tangannya menggenggam erat tangan ibunya. Ibu itu, yang kini sudah mulai menua, tersenyum samar. Ingatan tentang masa-masa itu membawanya kembali pada waktu di mana segalanya terasa lebih mudah, lebih cerah, dan penuh harapan.
Anak laki-laki itu kini telah dewasa, namun telah lama meninggalkan desa kecil ini untuk mengejar impian di kota besar. "Kau akan menjadi kebanggaanku," kata ibu itu saat melepas kepergiannya bertahun-tahun yang lalu. Namun, harapan yang besar itu kini hanya tersisa menjadi bayangan samar di balik ketidakpastian. Waktu berlalu tanpa kabar, hanya doa yang selalu dilangitkan setiap malam, berharap anaknya baik-baik saja.
Hujan mulai turun, rintik-rintik lembut yang menyelimuti desa. Sang ibu menghela napas, menutup album itu dengan hati yang terasa berat. Hatinya selalu diliputi kekhawatiran yang tak pernah bisa terucap. Tetesan hujan di luar jendela mengingatkannya pada malam ketika anaknya sakit demam tinggi. Malam itu, ia terjaga sepanjang malam, memeluk anaknya erat-erat, berharap demamnya akan segera turun. Pelukan itu, seakan menjadi benteng pelindung dari segala kesulitan yang ada di dunia.
Saat itulah terdengar ketukan di pintu. Ketukan pelan namun cukup untuk memecah kesunyian malam. Sang ibu terkejut, jarang sekali ada tamu yang datang di tengah hujan seperti ini. Ia berjalan pelan menuju pintu, sedikit gemetar, merasakan firasat yang entah bagaimana terasa begitu kuat. Ketika pintu dibuka, di depannya berdiri seorang pria muda dengan pakaian basah kuyup, rambutnya tergerai acak oleh hujan.
"Ibu..." suaranya lirih, seperti suara anak kecil yang tersesat di tengah malam.
Sang ibu membeku sejenak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Raka..." ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Pria muda itu adalah anaknya, yang telah bertahun-tahun pergi tanpa kabar. Tanpa berpikir panjang, ia langsung memeluk Raka erat-erat, merasakan kehangatan tubuhnya yang menggigil kedinginan.
"Aku pulang, Bu," bisik Raka dengan suara yang hampir tertelan isak tangis.
Air mata ibu itu jatuh tak terbendung, bercampur dengan air hujan yang membasahi rambutnya. Ia memeluk Raka seolah-olah tidak ingin melepaskannya lagi, merasakan detak jantung yang dulu pernah ia dengar setiap kali menidurkan anaknya di dada.
Mereka berdua duduk di dekat perapian, sementara sang ibu membuatkan teh hangat untuk mengusir dingin yang menyelimuti tubuh Raka. Mereka berbicara dalam keheningan, tidak banyak kata yang terucap, namun kehadiran masing-masing sudah lebih dari cukup untuk mengungkapkan segala rasa rindu yang telah lama terpendam.