Malam itu, kabut tebal menyelimuti desa kecil yang tersembunyi di balik hutan lebat. Pohon-pohon menjulang tinggi, daunnya menghalangi cahaya bulan yang seharusnya menyinari jalan setapak menuju desa. Hawa dingin yang menusuk tulang membuat setiap penduduk enggan keluar rumah. Suara angin yang menggerakkan ranting-ranting kering menambah kesan angker malam itu.
Di sebuah rumah tua yang berada di ujung desa, tinggal seorang wanita paruh baya bernama Ningsih. Ia dikenal penduduk desa sebagai wanita yang penuh misteri, selalu sendirian, dan jarang keluar rumah. Ningsih menyimpan kenangan yang tak bisa ia bagi dengan siapa pun, kenangan yang selalu membuatnya terjaga setiap malam, menatap keluar jendela, menunggu sesuatu yang tidak pasti.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Ningsih duduk di kursi goyang di dekat jendela, matanya menatap kosong ke arah jalan setapak yang diselimuti kabut. Hanya suara detak jam dinding dan angin yang menemani kesendiriannya. Tiba-tiba, di antara kepulan kabut, ia melihat bayangan samar seseorang berjalan mendekat. Jantungnya berdegup kencang. "Apakah ini yang kutunggu?" gumamnya.
Semakin dekat bayangan itu, semakin jelas sosoknya. Seorang pria berperawakan tinggi dengan langkah yang tenang namun pasti. Ningsih merasa napasnya tercekat. Sosok itu mengingatkannya pada seseorang dari masa lalunya, seseorang yang seharusnya tidak mungkin ada di sana.
Pria itu berhenti tepat di depan rumah Ningsih. Ia menatap rumah tua itu seolah mengenalnya dengan baik. Ningsih merasa tubuhnya gemetar. Ia tahu, malam ini adalah malam yang sudah ditakdirkan. Dengan langkah perlahan, ia membuka pintu dan menatap pria itu dari dekat. Wajah pria itu tak banyak berubah, meskipun sudah bertahun-tahun berlalu.
"Kau... kau kembali?" suara Ningsih bergetar, nyaris tak percaya.
Pria itu tersenyum tipis, senyum yang dulu selalu menenangkan hati Ningsih. "Aku sudah berjanji, bukan? Aku akan kembali."
Kenangan masa lalu membanjiri pikiran Ningsih. Dahulu, mereka berdua adalah pasangan yang tak terpisahkan. Namun, takdir memisahkan mereka secara tragis. Pria itu, Arman, harus pergi untuk selamanya dalam sebuah kecelakaan yang mengerikan. Namun, di malam sebelum kepergiannya, ia berjanji akan kembali untuk Ningsih, entah bagaimana caranya.
"Arman... tapi kau sudah..." Ningsih tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Air mata mulai menggenang di matanya.
Arman mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Ningsih dengan lembut. "Aku tahu, Ningsih. Aku tahu aku sudah lama pergi. Tapi aku kembali untuk memenuhi janjiku."
Ningsih merasa tubuhnya semakin lemah, namun perasaannya bercampur antara takut dan bahagia. "Bagaimana mungkin kau bisa kembali?"
Arman hanya tersenyum, tidak memberikan jawaban pasti. "Ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan, Ningsih. Yang penting, aku di sini sekarang, bersamamu."
Ningsih merasakan kehangatan dari sentuhan Arman, sesuatu yang sudah lama ia rindukan. Namun, ia juga tahu ada sesuatu yang tidak wajar dari semua ini. "Apakah kau hanya datang untuk malam ini?" tanyanya dengan suara serak.
"Waktuku tidak banyak, Ningsih," jawab Arman pelan. "Aku datang untuk membawamu pergi bersamaku, ke tempat di mana kita bisa bersama selamanya."
Ningsih terdiam, memahami maksud dari kata-kata Arman. Ia menatap dalam mata pria itu, mencari jawaban yang selama ini menghantuinya. "Apakah aku sudah cukup lama menunggu?"
Arman mengangguk. "Sudah cukup, Ningsih. Waktunya sudah tiba."
Ningsih menunduk, merasakan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Seluruh hidupnya, ia menunggu saat ini, tetapi saat ini datang, ia merasa takut. "Apakah aku harus pergi sekarang?"
Arman menggenggam tangan Ningsih erat. "Kau tidak harus. Keputusan ada di tanganmu. Tapi jika kau ingin kita bersama, kita harus pergi sekarang, meninggalkan semua yang ada di sini."
Ningsih memandangi rumah tua itu, tempat di mana semua kenangan mereka tercipta. Ia tahu, jika ia pergi, ia tidak akan pernah kembali. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa hidup dalam bayang-bayang masa lalu selamanya. Dengan hati yang mantap, ia memutuskan untuk mengikuti Arman, meninggalkan dunia ini dan semua yang ada di dalamnya.
Arman tersenyum dan membimbing Ningsih keluar dari rumah. Mereka berjalan perlahan melalui jalan setapak yang diselimuti kabut, semakin jauh dari desa. Kabut semakin tebal, hingga akhirnya menelan mereka berdua. Ningsih merasa tubuhnya semakin ringan, seolah-olah ia melayang di udara. Ia merasa damai, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.
Saat kabut menghilang, desa kecil itu kembali sunyi. Di rumah tua di ujung desa, hanya kursi goyang yang bergerak pelan, seolah-olah ada seseorang yang baru saja meninggalkannya. Tapi tidak ada siapa pun di sana, hanya keheningan yang abadi.
Desa itu kini kehilangan satu-satunya penghuni misteriusnya. Namun, bagi Ningsih, ia akhirnya menemukan kedamaian yang telah lama ia cari, di balik kabut yang tak berujung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H