Ningsih merasa tubuhnya semakin lemah, namun perasaannya bercampur antara takut dan bahagia. "Bagaimana mungkin kau bisa kembali?"
Arman hanya tersenyum, tidak memberikan jawaban pasti. "Ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan, Ningsih. Yang penting, aku di sini sekarang, bersamamu."
Ningsih merasakan kehangatan dari sentuhan Arman, sesuatu yang sudah lama ia rindukan. Namun, ia juga tahu ada sesuatu yang tidak wajar dari semua ini. "Apakah kau hanya datang untuk malam ini?" tanyanya dengan suara serak.
"Waktuku tidak banyak, Ningsih," jawab Arman pelan. "Aku datang untuk membawamu pergi bersamaku, ke tempat di mana kita bisa bersama selamanya."
Ningsih terdiam, memahami maksud dari kata-kata Arman. Ia menatap dalam mata pria itu, mencari jawaban yang selama ini menghantuinya. "Apakah aku sudah cukup lama menunggu?"
Arman mengangguk. "Sudah cukup, Ningsih. Waktunya sudah tiba."
Ningsih menunduk, merasakan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Seluruh hidupnya, ia menunggu saat ini, tetapi saat ini datang, ia merasa takut. "Apakah aku harus pergi sekarang?"
Arman menggenggam tangan Ningsih erat. "Kau tidak harus. Keputusan ada di tanganmu. Tapi jika kau ingin kita bersama, kita harus pergi sekarang, meninggalkan semua yang ada di sini."
Ningsih memandangi rumah tua itu, tempat di mana semua kenangan mereka tercipta. Ia tahu, jika ia pergi, ia tidak akan pernah kembali. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa hidup dalam bayang-bayang masa lalu selamanya. Dengan hati yang mantap, ia memutuskan untuk mengikuti Arman, meninggalkan dunia ini dan semua yang ada di dalamnya.
Arman tersenyum dan membimbing Ningsih keluar dari rumah. Mereka berjalan perlahan melalui jalan setapak yang diselimuti kabut, semakin jauh dari desa. Kabut semakin tebal, hingga akhirnya menelan mereka berdua. Ningsih merasa tubuhnya semakin ringan, seolah-olah ia melayang di udara. Ia merasa damai, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.
Saat kabut menghilang, desa kecil itu kembali sunyi. Di rumah tua di ujung desa, hanya kursi goyang yang bergerak pelan, seolah-olah ada seseorang yang baru saja meninggalkannya. Tapi tidak ada siapa pun di sana, hanya keheningan yang abadi.