Mohon tunggu...
Alun Riansa Pakaya
Alun Riansa Pakaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa yang antusias menulis, mengeksplorasi ide-ide baru dan mengembangkan kreativitas melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Tua yang Menitipkan Harapannya pada Ombak

10 Agustus 2024   04:24 Diperbarui: 10 Agustus 2024   04:30 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah desa terpencil yang tak tersentuh oleh gemerlap dunia modern, hiduplah seorang lelaki tua bernama Pak Marno. Usianya sudah senja, wajahnya dipenuhi keriput, dan rambutnya telah memutih seutuhnya. Pak Marno dikenal sebagai seorang petani yang gigih. Sejak kecil, ia telah terbiasa membajak sawah, menanam padi, dan merawat ladangnya dengan cinta yang tulus. Baginya, tanah adalah segalanya; ia hidup untuk tanah, dan tanah hidup untuknya.

Namun, beberapa tahun terakhir, alam seolah berkhianat. Hujan tak menentu, tanah yang dulu subur kini kering kerontang, dan hasil panen yang diharapkannya pun mengecewakan. Pak Marno terus berjuang, meskipun tubuhnya semakin lemah. Desa yang dulu hidup dari hasil bumi kini sekarat; banyak petani lain memilih merantau ke kota, meninggalkan ladang mereka yang tak lagi berdaya.

Pak Marno tetap bertahan. Ia percaya bahwa suatu hari alam akan kembali bersahabat. Namun, keyakinannya mulai goyah. Hutang semakin menumpuk, sementara sawahnya hanya memberi hasil yang tak seberapa. Malam demi malam, ia merenung di beranda rumahnya yang sederhana, memandangi bintang-bintang yang seolah tak lagi bersinar cerah. Pikirannya dipenuhi oleh keraguan dan ketakutan akan masa depan.

Suatu pagi, ketika embun masih menempel di dedaunan, Pak Marno duduk di tepi sawahnya yang gersang. Matanya menatap langit yang biru tanpa awan. Ia merasakan kesepian yang mendalam, seperti ada lubang besar dalam hatinya yang tak bisa ditutup. Ia merasa gagal, bukan hanya sebagai petani, tetapi juga sebagai seorang ayah dan suami. Istrinya sudah lama pergi, meninggalkan kenangan manis yang semakin pudar. Anak-anaknya telah tumbuh dewasa, tetapi mereka tak lagi tinggal di desa; mereka telah mencari kehidupan yang lebih baik di kota, jauh dari tanah kelahiran mereka.

Hari itu, Pak Marno mengambil keputusan. Ia merasa sudah tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Dunia ini sudah terlalu kejam baginya, dan ia tak sanggup lagi bertahan. 

Dengan langkah yang perlahan, ia berjalan menuju pantai yang terletak tak jauh dari desanya. Laut adalah sahabat lama yang selalu menemaninya di masa muda. Setiap sore, ia biasa duduk di tepi pantai, memandangi ombak yang tenang, dan mendengarkan gemuruh lautan yang menyejukkan hati.

Ketika matahari mulai terbenam, Pak Marno tiba di pantai. Langit merah menyala, sementara ombak bergulung-gulung lembut di bawahnya. Ia duduk di pasir yang dingin, merasakan angin laut yang menyapu wajahnya dengan lembut. Pak Marno menatap jauh ke cakrawala, mengenang masa-masa indah yang kini terasa begitu jauh. Air matanya menetes perlahan, tetapi ia tidak menghapusnya. Ia biarkan air mata itu mengalir, membasahi pipinya yang tirus.

Dalam hati, Pak Marno berbicara dengan laut. Ia merasa seolah lautan mengerti kesedihannya, mendengar keluh kesahnya yang selama ini ia pendam. Ia menceritakan tentang mimpi-mimpi yang tak pernah tercapai, tentang harapan yang hancur, dan tentang rasa putus asa yang menghimpitnya.

"Laut," bisiknya pelan, "kau sahabatku sejak dulu. Maukah kau membawaku pergi, jauh dari semua ini? Aku lelah, aku ingin istirahat."

Pak Marno berdiri dan melepaskan topi bambunya yang usang. Ia melangkah pelan menuju bibir pantai, membiarkan kakinya terendam oleh air laut yang dingin. Ombak menyentuhnya dengan lembut, seolah mengundangnya untuk lebih jauh ke dalam. Ia terus berjalan, meninggalkan jejak kaki yang segera terhapus oleh ombak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun