Di sebuah desa terpencil yang tak tersentuh oleh gemerlap dunia modern, hiduplah seorang lelaki tua bernama Pak Marno. Usianya sudah senja, wajahnya dipenuhi keriput, dan rambutnya telah memutih seutuhnya. Pak Marno dikenal sebagai seorang petani yang gigih. Sejak kecil, ia telah terbiasa membajak sawah, menanam padi, dan merawat ladangnya dengan cinta yang tulus. Baginya, tanah adalah segalanya; ia hidup untuk tanah, dan tanah hidup untuknya.
Namun, beberapa tahun terakhir, alam seolah berkhianat. Hujan tak menentu, tanah yang dulu subur kini kering kerontang, dan hasil panen yang diharapkannya pun mengecewakan. Pak Marno terus berjuang, meskipun tubuhnya semakin lemah. Desa yang dulu hidup dari hasil bumi kini sekarat; banyak petani lain memilih merantau ke kota, meninggalkan ladang mereka yang tak lagi berdaya.
Pak Marno tetap bertahan. Ia percaya bahwa suatu hari alam akan kembali bersahabat. Namun, keyakinannya mulai goyah. Hutang semakin menumpuk, sementara sawahnya hanya memberi hasil yang tak seberapa. Malam demi malam, ia merenung di beranda rumahnya yang sederhana, memandangi bintang-bintang yang seolah tak lagi bersinar cerah. Pikirannya dipenuhi oleh keraguan dan ketakutan akan masa depan.
Suatu pagi, ketika embun masih menempel di dedaunan, Pak Marno duduk di tepi sawahnya yang gersang. Matanya menatap langit yang biru tanpa awan. Ia merasakan kesepian yang mendalam, seperti ada lubang besar dalam hatinya yang tak bisa ditutup. Ia merasa gagal, bukan hanya sebagai petani, tetapi juga sebagai seorang ayah dan suami. Istrinya sudah lama pergi, meninggalkan kenangan manis yang semakin pudar. Anak-anaknya telah tumbuh dewasa, tetapi mereka tak lagi tinggal di desa; mereka telah mencari kehidupan yang lebih baik di kota, jauh dari tanah kelahiran mereka.
Hari itu, Pak Marno mengambil keputusan. Ia merasa sudah tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Dunia ini sudah terlalu kejam baginya, dan ia tak sanggup lagi bertahan.Â
Dengan langkah yang perlahan, ia berjalan menuju pantai yang terletak tak jauh dari desanya. Laut adalah sahabat lama yang selalu menemaninya di masa muda. Setiap sore, ia biasa duduk di tepi pantai, memandangi ombak yang tenang, dan mendengarkan gemuruh lautan yang menyejukkan hati.
Ketika matahari mulai terbenam, Pak Marno tiba di pantai. Langit merah menyala, sementara ombak bergulung-gulung lembut di bawahnya. Ia duduk di pasir yang dingin, merasakan angin laut yang menyapu wajahnya dengan lembut. Pak Marno menatap jauh ke cakrawala, mengenang masa-masa indah yang kini terasa begitu jauh. Air matanya menetes perlahan, tetapi ia tidak menghapusnya. Ia biarkan air mata itu mengalir, membasahi pipinya yang tirus.
Dalam hati, Pak Marno berbicara dengan laut. Ia merasa seolah lautan mengerti kesedihannya, mendengar keluh kesahnya yang selama ini ia pendam. Ia menceritakan tentang mimpi-mimpi yang tak pernah tercapai, tentang harapan yang hancur, dan tentang rasa putus asa yang menghimpitnya.
"Laut," bisiknya pelan, "kau sahabatku sejak dulu. Maukah kau membawaku pergi, jauh dari semua ini? Aku lelah, aku ingin istirahat."
Pak Marno berdiri dan melepaskan topi bambunya yang usang. Ia melangkah pelan menuju bibir pantai, membiarkan kakinya terendam oleh air laut yang dingin. Ombak menyentuhnya dengan lembut, seolah mengundangnya untuk lebih jauh ke dalam. Ia terus berjalan, meninggalkan jejak kaki yang segera terhapus oleh ombak.