Mohon tunggu...
Alun Riansa Pakaya
Alun Riansa Pakaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa yang antusias menulis, mengeksplorasi ide-ide baru dan mengembangkan kreativitas melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lapar yang Menjerat di Tengah Keberlimpahan

10 Agustus 2024   03:22 Diperbarui: 10 Agustus 2024   03:57 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Kling AI (https://klingai.com/) - Gambar seorang petani yang sedang duduk di sebuah gubuk di tengah sawah dengan ekspresi kesedihan

Di desa subur bernama Sukamaju, segala sesuatu tampak begitu sempurna dari luar. Sawah-sawah menghampar hijau, penuh dengan padi yang menunggu untuk dipanen. Pepohonan kelapa menjulang tinggi di sepanjang jalan desa, memberikan kesejukan bagi siapa pun yang berlalu. Setiap musim panen, desa ini dibanjiri hasil bumi yang berlimpah, menciptakan pemandangan yang memikat siapa saja yang melihatnya. Penduduk desa hidup dengan damai, rumah-rumah mereka kokoh, dengan lumbung-lumbung yang selalu terisi penuh. Tidak ada yang kekurangan, tidak ada yang terlihat kelaparan. Tapi, seperti halnya fatamorgana di gurun, tidak semua yang tampak dari luar adalah cerminan dari kenyataan yang sebenarnya.

Pak Hasan, salah satu petani paling dihormati di desa itu, adalah sosok yang menjadi panutan. Tubuhnya masih tegap meski usianya sudah menua, dan tangannya yang kokoh menunjukkan ketekunan yang diwarisinya dari generasi ke generasi. Sawah miliknya adalah yang paling luas di desa, dan hasil panennya selalu yang terbaik. Namun, di balik senyumnya yang ramah, ada kegelisahan yang tak pernah diketahui oleh penduduk lain.

Malam itu, angin dingin bertiup dari utara, menembus celah-celah rumah kayu Pak Hasan. Ia duduk di teras, memandang bulan purnama yang bersinar terang. Di tangannya, sebuah rokok tembakau hampir habis, sementara pikirannya melayang ke berbagai tempat. Pak Hasan bukan tipe orang yang sering mengeluh, namun malam itu, ia merasa ada sesuatu yang salah. Bukan tentang panen yang buruk, atau tentang cuaca yang tak bersahabat, melainkan sesuatu yang lebih dalam, yang membuatnya terjaga setiap malam.

Ia merasakan perutnya yang kosong, bukan karena kekurangan makanan, tetapi karena rasa lapar yang tak bisa dijelaskan. Lapar yang bukan hanya sekadar keinginan untuk makan, melainkan sebuah kekosongan yang terus menghantui dirinya. Setiap kali ia mencoba untuk tidur, rasa lapar itu kembali, menyerangnya dengan intensitas yang semakin hari semakin kuat.

Pak Hasan mencoba mengalihkan pikirannya dengan berbagai cara. Ia bekerja lebih keras di ladang, menghabiskan waktu lebih lama dengan keluarganya, bahkan mencoba mencari hiburan di pasar malam yang sering diadakan di desa. Namun, rasa lapar itu tetap ada, menolak untuk pergi.

Satu malam, ketika ia tak bisa lagi menahan diri, Pak Hasan memutuskan untuk pergi ke rumah dukun desa, Mbah Sastro. Meski Pak Hasan bukan orang yang percaya pada hal-hal gaib, ia merasa bahwa ini mungkin satu-satunya cara untuk mengatasi masalahnya. Mbah Sastro dikenal sebagai orang yang bijak dan memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang tak terlihat.

Sesampainya di rumah Mbah Sastro, Pak Hasan disambut dengan bau dupa yang kuat. Mbah Sastro, dengan rambut putihnya yang panjang, duduk di tengah ruangan, seolah sudah menunggu kedatangan Pak Hasan. Tanpa banyak basa-basi, Pak Hasan menceritakan masalahnya. Mbah Sastro mendengarkan dengan seksama, matanya menyipit seakan menembus jiwa Pak Hasan.

"Rasa lapar yang kau rasakan itu bukanlah lapar biasa, Pak Hasan," ujar Mbah Sastro dengan suara serak. "Kau telah menyimpan sesuatu yang bukan milikmu."

Pak Hasan terkejut mendengar kata-kata itu. Ia merasa telah menjalani hidupnya dengan jujur, tak pernah mengambil hak orang lain, selalu membantu tetangga yang kesusahan. Apa yang dimaksud oleh Mbah Sastro?

"Apa maksud Mbah?" tanya Pak Hasan, bingung.

Mbah Sastro menatapnya tajam, seolah sedang menimbang-nimbang apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Akhirnya, ia berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih rendah.

"Ada sesuatu yang telah kau lupakan, Pak Hasan. Sesuatu dari masa lalumu yang tak pernah kau selesaikan. Kau harus menemukannya, atau rasa lapar itu akan terus menghantuimu."

Pak Hasan meninggalkan rumah Mbah Sastro dengan pikiran yang semakin berat. Ia berjalan pulang dengan langkah lambat, mencoba mengingat kembali masa lalunya. Apa yang telah ia lupakan? Apa yang telah ia simpan yang bukan miliknya?

Beberapa hari berlalu, dan rasa lapar itu semakin parah. Setiap kali Pak Hasan melihat makanan, ia merasa jijik. Setiap kali ia mencoba makan, perutnya mual. Tubuhnya mulai kurus, matanya cekung, namun ia tetap tak bisa memahami apa yang telah dilupakan. Desanya yang begitu penuh dengan keberlimpahan kini menjadi tempat yang menyiksa baginya.

Suatu malam, dalam tidurnya yang tak tenang, Pak Hasan bermimpi. Ia melihat dirinya sebagai anak kecil, berlari di antara sawah-sawah yang subur. Di kejauhan, ia melihat sebuah gubuk tua, yang ia kenal sebagai tempat tinggal keluarga miskin bernama Pak Rahmat. Pak Hasan kecil mendekati gubuk itu dan melihat Pak Rahmat duduk di depan pintu, memegang sebuah kantong beras kecil. Pak Rahmat tersenyum padanya, senyum yang penuh kehangatan meski hidupnya sangat sederhana.

Pagi harinya, Pak Hasan terbangun dengan jantung berdebar. Ia ingat kini. Puluhan tahun yang lalu, ketika ia masih kecil, keluarganya adalah tetangga Pak Rahmat yang sangat miskin. Pada suatu hari, saat sawah-sawah di desa dilanda hama, keluarganya hampir tak punya apa-apa untuk dimakan. Suatu sore, Pak Rahmat datang ke rumahnya dan memberikan kantong beras kecil itu, satu-satunya yang dimiliki keluarganya. Pak Rahmat berkata bahwa keluarganya bisa bertahan dengan sedikit makanan yang tersisa, tetapi keluarga Pak Hasan membutuhkan lebih banyak.

Pak Hasan tak pernah lupa kebaikan hati itu. Namun, yang ia lupa adalah bahwa ia tak pernah mengembalikan budi baik itu. Pak Rahmat dan keluarganya akhirnya pindah dari desa, dan Pak Hasan tak pernah mendengar kabar mereka lagi. Kini, setelah sekian lama, rasa lapar itu datang sebagai pengingat akan utang budi yang tak pernah ia bayar.

Dengan tekad yang kuat, Pak Hasan memutuskan untuk mencari keluarga Pak Rahmat. Ia mendengar kabar bahwa mereka tinggal di desa lain, jauh di balik bukit. Perjalanan itu panjang dan melelahkan, tapi Pak Hasan tak peduli. Ia merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaannya.

Sesampainya di desa yang dimaksud, Pak Hasan menemukan keluarga Pak Rahmat. Namun, yang ia temukan bukanlah Pak Rahmat, melainkan anaknya, yang kini sudah dewasa dan memiliki keluarga sendiri. Pak Rahmat telah meninggal beberapa tahun yang lalu, dalam kemiskinan yang sama seperti saat ia masih di desa Sukamaju.

Pak Hasan tak bisa menahan air matanya ketika mendengar cerita itu. Ia merasa bersalah, merasa bahwa ia telah gagal membalas kebaikan hati Pak Rahmat. Namun, ia bertekad untuk menebus kesalahannya. Ia menawarkan sebagian dari hasil panennya setiap tahun kepada keluarga Pak Rahmat, sebagai tanda penghargaan dan terima kasih yang terlambat.

Ketika Pak Hasan kembali ke desanya, rasa lapar itu perlahan menghilang. Ia mulai bisa makan lagi, dan tubuhnya yang kurus mulai kembali seperti semula. Namun, yang paling penting, Pak Hasan kini merasa damai. Ia telah menuntaskan sesuatu yang telah lama terlupakan, dan meskipun itu tak akan mengembalikan Pak Rahmat, setidaknya ia telah menunjukkan bahwa kebaikan tak pernah hilang, meski tersembunyi di tengah kemakmuran yang menipu.

Di desa Sukamaju, panen kembali melimpah, dan Pak Hasan kembali menjadi petani yang paling dihormati. Namun, kini ia tahu bahwa keberlimpahan bukanlah segalanya. Ada hal-hal yang lebih penting dari sekadar harta dan kekayaan, yaitu rasa syukur dan kewajiban untuk membalas kebaikan, betapapun kecilnya. Dan rasa lapar yang pernah menjeratnya, kini menjadi pengingat bahwa tidak semua yang berlimpah itu berarti kenyang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun