Mbah Sastro menatapnya tajam, seolah sedang menimbang-nimbang apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Akhirnya, ia berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih rendah.
"Ada sesuatu yang telah kau lupakan, Pak Hasan. Sesuatu dari masa lalumu yang tak pernah kau selesaikan. Kau harus menemukannya, atau rasa lapar itu akan terus menghantuimu."
Pak Hasan meninggalkan rumah Mbah Sastro dengan pikiran yang semakin berat. Ia berjalan pulang dengan langkah lambat, mencoba mengingat kembali masa lalunya. Apa yang telah ia lupakan? Apa yang telah ia simpan yang bukan miliknya?
Beberapa hari berlalu, dan rasa lapar itu semakin parah. Setiap kali Pak Hasan melihat makanan, ia merasa jijik. Setiap kali ia mencoba makan, perutnya mual. Tubuhnya mulai kurus, matanya cekung, namun ia tetap tak bisa memahami apa yang telah dilupakan. Desanya yang begitu penuh dengan keberlimpahan kini menjadi tempat yang menyiksa baginya.
Suatu malam, dalam tidurnya yang tak tenang, Pak Hasan bermimpi. Ia melihat dirinya sebagai anak kecil, berlari di antara sawah-sawah yang subur. Di kejauhan, ia melihat sebuah gubuk tua, yang ia kenal sebagai tempat tinggal keluarga miskin bernama Pak Rahmat. Pak Hasan kecil mendekati gubuk itu dan melihat Pak Rahmat duduk di depan pintu, memegang sebuah kantong beras kecil. Pak Rahmat tersenyum padanya, senyum yang penuh kehangatan meski hidupnya sangat sederhana.
Pagi harinya, Pak Hasan terbangun dengan jantung berdebar. Ia ingat kini. Puluhan tahun yang lalu, ketika ia masih kecil, keluarganya adalah tetangga Pak Rahmat yang sangat miskin. Pada suatu hari, saat sawah-sawah di desa dilanda hama, keluarganya hampir tak punya apa-apa untuk dimakan. Suatu sore, Pak Rahmat datang ke rumahnya dan memberikan kantong beras kecil itu, satu-satunya yang dimiliki keluarganya. Pak Rahmat berkata bahwa keluarganya bisa bertahan dengan sedikit makanan yang tersisa, tetapi keluarga Pak Hasan membutuhkan lebih banyak.
Pak Hasan tak pernah lupa kebaikan hati itu. Namun, yang ia lupa adalah bahwa ia tak pernah mengembalikan budi baik itu. Pak Rahmat dan keluarganya akhirnya pindah dari desa, dan Pak Hasan tak pernah mendengar kabar mereka lagi. Kini, setelah sekian lama, rasa lapar itu datang sebagai pengingat akan utang budi yang tak pernah ia bayar.
Dengan tekad yang kuat, Pak Hasan memutuskan untuk mencari keluarga Pak Rahmat. Ia mendengar kabar bahwa mereka tinggal di desa lain, jauh di balik bukit. Perjalanan itu panjang dan melelahkan, tapi Pak Hasan tak peduli. Ia merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaannya.
Sesampainya di desa yang dimaksud, Pak Hasan menemukan keluarga Pak Rahmat. Namun, yang ia temukan bukanlah Pak Rahmat, melainkan anaknya, yang kini sudah dewasa dan memiliki keluarga sendiri. Pak Rahmat telah meninggal beberapa tahun yang lalu, dalam kemiskinan yang sama seperti saat ia masih di desa Sukamaju.
Pak Hasan tak bisa menahan air matanya ketika mendengar cerita itu. Ia merasa bersalah, merasa bahwa ia telah gagal membalas kebaikan hati Pak Rahmat. Namun, ia bertekad untuk menebus kesalahannya. Ia menawarkan sebagian dari hasil panennya setiap tahun kepada keluarga Pak Rahmat, sebagai tanda penghargaan dan terima kasih yang terlambat.
Ketika Pak Hasan kembali ke desanya, rasa lapar itu perlahan menghilang. Ia mulai bisa makan lagi, dan tubuhnya yang kurus mulai kembali seperti semula. Namun, yang paling penting, Pak Hasan kini merasa damai. Ia telah menuntaskan sesuatu yang telah lama terlupakan, dan meskipun itu tak akan mengembalikan Pak Rahmat, setidaknya ia telah menunjukkan bahwa kebaikan tak pernah hilang, meski tersembunyi di tengah kemakmuran yang menipu.