Tidak lama setelah ibukota Indonesia berpindah ke Balikpapan, Kalimantan Timur, Jakarta menjadi sebuah kota yang lengang. Jika biasanya Jakarta menjadi salah satu kota termacet di asia tenggara, sekarang menjadi salah satu kota yang lengang. Mobil-mobil mewah bisa berjalan dengan kecepatan minimum 60 km per jam, dan motor-motor ber-CC besar bisa melaju dengan sangat cepat. Jika dulu untuk menemui Jakarta selengang ini adalah dengan adanya perayaan Hari Raya Idul Fitri, maka mulai tahun ini - 2045, Jakarta akan selalu lengang. Lengang dari para pegawai pemerintahan yang berdesak-desakan dengan mobil dinasnya yang sangat mewah dan terkadang dikawal banyak asisten. Jakarta menjadi kota yang lengang dari para birokrat dan penjilat. Jakarta menjadi kota yang lengang dari para pendatang, karena para pekerja, cendekia dan sarjana lebih memilih membangun desa dan kotanya masing-masing daripada di Jakarta yang tidak seksi lagi.
Dua bulan yang lalu, pemerintah Indonesia resmi memindahkan ibu kota Negara Indonesia dari Jakarta ke Balikpapan setelah mendapatkan banyak pertimbangan dari para ahli dan pakar tata kota. Jakarta dinilai sudah tidak layak lagi menjadi ibu kota. Sistem transportasi massalnya acak-acakan, populasi kendaraan dan perumahan tidak dapat dikendalikan dengan bijaksana. Masing-masing individu dan instansi diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk memiliki kendaraan pribadi dan membangun tempat tinggal dan perkantoran tanpa menghiraukan kaidah tata ruang yang baik. Kemacetan menjadi sebuah rutinitas keseharian penduduknya. Tidak peduli pagi hari saat orang-orang mau berangkat kerja ataupun pada sore hari saat orang-orang pulang kerja. Bahkan ketika siang hari ataupun malam hari, Jakarta tetap macet. Terlebih lagi jika turun hujan, maka kemacetan menjadi keniscayaan yang tidak dapat dihindari oleh orang-orang yang berada di Jakarta dan sekitarnya, terjebak macet selama 1-2 jam adalah hal biasa.
Bukan hanya kemacetan yang menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia untuk memindahkan ibukotanya, tapi juga adalah karena banjir besar yang berulang kali melanda kota Jakarta. Pemerintah terlebih presiden Indonesia merasa sangat bosan jika istana merdeka selalu kebagian banjir setiap musim penghujan. Jalan-jalan protokol menjadi anak sungai yang dipenuhi mobil dan motor. Setiap tahun, status darurat bencana banjir selalu berulang-ulang. Presiden merasa jengah dan bosan dengan status itu. Status yang sangat tidak mengenakannya. Tidak enak makan dan tidak enak tidur. Terlebih kepada para tamu Negara yang berkunjung ke istana merdeka, mereka harus menarik celana atau kainnya setiap kali berkunjung ke istana merdeka karena banjir. Ini sungguh situasi yang tidak mengenakan presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala Negara.
Tapi sebenarnya bukan hanya karena kemacetan dan kebanjirannya Jakarta sajalah yang menjadi alasan kenapa ibukota harus dipindahkan ke Balikpapan. Juga bukan hanya karena kumuhnya pasar-pasar tradisional di Jakarta, ataupun banyaknya lubang di trotoar-trotoar dan semrawutnya kabel bawah tanah dan kabel di atas tiang-tiang besi di perumahan-perumahan serta di pinggir-pinggir jalan. Apalagi jika hanya karena banyaknya gelandangan, pengemis dan anak terlantar di Jakarta. Bukan hanya itu saja. Lebih dari itu, dipindahkannya ibu kota Indonesia ke Balikpapan adalah karena masalah strategi politik untuk menyatukan kembali seluruh potensi dan kekuatan Nusantara Raya.
Seperti yang pernah digaungkan dan dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia ke-7 saat itu - Ir. Joko Widodo, bahwa paradigma pembangunan nasional adalah Indonesia sentries bukan lagi jawa sentries maka untuk untuk mendapatkan titik kesetimbangan itu dipilihlah Balikpapan sebagai ibu kota Indonesia menuju Nusantara Raya. Sebagai salah satu anggota tim penasihat kepresidenan, akupun ikut menyusun rancangan strategi politik percepatan dan pemerataan pembangunan yang salah satu hasilnya adalah dengan dipilihnya Balikpapan sebagai ibukota Negara menggantikan Jakarta.
“Saudara Alung, sudah dua bulan kita berpindah dari Jakarta ke Balikpapan. Saya mendengar kabar bahwa Jakarta sudah lengang dan Balikpapan mulai ramai oleh para pendatang. Apakah Balikpapan akan senasib dengan Jakarta 10 tahun yang akan datang?” ucap Presiden mengkonfirmasi laporan yang telah diterimanya
“Pak Presiden, bapak tidak perlu khawatir dengan kota Balikpapan yang akan senasib dengan Jakarta” ucapku kepada Presiden meyakinkan.
“Hmmm...bagaimana kamu bisa meyakinkan saya saudara Alung?” tanya Presiden kepadaku dengan mimik yang sangat serius.
“Pak Presiden, ada tiga hal yang sering kita lupakan dalam menerapkan suatu kebijakan”
Tampak Presiden manggut-manggut sambil membolak-balikkan setumpuk berkas yang harus ditanda tangani.
“ Tiga hal?”
“Betul bapak Presiden. Tiga hal itu tentu sudah sangat sering bapak Presiden dengar sejak masa kampanye 3 tahun lalu”
“Ya..ya…Mungkin kamu bisa menyegarkan ingatanku kembali ”
Akupun mulai menjelaskan satu per satu hal yang perlu untuk disampaikan kepada Presiden.
“Hal yang pertama adalah Fundamental pak Presiden”
“Fundamental?”
“Fundamental ini adalah hal yang mendasar dari kota yang kita pilih bapak Presiden. Sebelum Balikpapan dipilih menjadi ibu kota, ada hal-hal dasar yang kita persiapkan. Kita fokus pada kebutuhan-kebutuhan pokok dan dasar dari sebuah kota. Dan itu semua telah kita persiapkan dengan matang pak Presiden. Salah satu contohnya adalah dengan membuat sistem transportasi massal yang terintegrasi, berjumlah banyak dan tepat waktu untuk pemenuhan kebutuhan akan transportasi yang murah dan cepat bagi para penduduk kota. Dengan demikian penduduk kota akan lebih memilih transportasi massal daripada kendaraan pribadi, dan tentunya kemacetan ibukota akan terhindarkan. ”
“Lalu?”
“Dan untuk selanjutnya adalah komprehensif bapak Presiden”
“Komprehensif?”
“Ya bapak Presiden. Komprehensif ini adalah bahwa suatu permasalahan di kota yang kita pilih sebagai ibukota, kita selesaikan secara menyeluruh dan tuntas. Untuk menghindarkan ibukota dari kemacetan tidak hanya kita selesaikan dengan memperbanyak transportasi massal dalam jumlah besar dan tepat waktu, tapi juga kita persiapkan super blok – super blok yang bisa digunakan para pekerja untuk tinggal. Dengan demikian, para pekerja di ibukota bisa berjalan kaki menuju tempat kerjanya yang berdampak pada pengurangan jumlah kendaraan di jalan raya. Untuk pemenuhan kebutuhan super blok itu, tentu kita telah koordinasikan dengan kementerian perumahan rakyat bapak Presiden. Demikian juga dengan masalah banjir pak Presiden. Kita bukan hanya menyiapkan gorong-gorong berukuran besar, revitalisasi kali, pembuatan waduk dan pompa tapi adalah bagaimana menjadikan air menjadi sumber energi dan pemenuhan kebutuhan pokok bagi warga ibukota yaitu dengan dibangunnya pusat penjernihan dan pengolahan air baku menjadi air minum. Dan itu kita telah koordinasikan dengan kementerian ESDM dan BUMN untuk mengolah air yang berlebih saat musim penghujan”
Tampak Presiden mengerenyitkan dahi saat hendak menandatangani suatu berkas yang ada di depannya.
“Nah untuk yang ketiganya apa saudara Alung?”
“Untuk yang ke tiganya adalah strategis bapak Presiden”.
“Strategis?. Apakah selama ini kebijakan kita tidak strategis sehingga Jakarta macet dan kebanjiran saudara Alung?”
“Bukan begitu pak Presiden. Kebijakan yang strategis yang saya maksud adalah bahwa kebijakan yang kita terapkan bukan hanya memberikan suatu kondisi di mana masyarakat di ibukota diuntungkan dengan suatu kebijakan tapi adalah bagaimana kebijakan itu bisa memberikan feedback postif bagi pemerintah. Sebagai contoh adalah dengan kebijakan penggunaan transportasi massal yang banyak, terintegrasi dan tepat waktu lalu didukung sistem super blok yang konsisten itu akan memberikan penghematan anggaran pak Presiden karena kemacetan yang nyaris nol. Demikian pula dengan penanggulangan banjir, tentu kita tidak perlu repot-repot untuk mengeluarkan status darurat banjir yang membutuhkan dana besar karena tidak ada bencana banjir. Jadi kebijakan yang kita buat, agar bukan hanya menguntungkan di sisi rakyat tapi juga di sisi pemerintah sebagai penyelenggara Negara. Jangan sampai kebijakan yang kita buat menyenangkan rakyat tapi membuat pemerintah pailit yang pada akhirnya justru akan merusak tata kelola pemerintahan”
Setelah aku dan Presiden berbincang-bincang tentang ibukota Balikpapan yang bebas macet, bebas banjir, bebas kawasan kumuh, bebas sungai kotor dan jorok, bebas kabel-kabel yang semrawut, bebas trotoar yang berlubang-lubang, dan bebas dari angkot yang reyot dan berhenti sembarangan barulah kami memperbincangkan tentang strategi pemerataan pembangunan. Pemerataan pembangunan ini sangat penting dalam rangka menemukan titik kesetimbangan antara Indonesia barat dan Indonesia timur.
Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemerdekaan RTC
Bulan Kemerdekaan RTC
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI