Mohon tunggu...
Alung De Moore
Alung De Moore Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ajining rogo soko busono, ajining pikir soko ilmu, ajining jiwo soko agomo.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kambing Congek dan Tukang Kayu (Refleksi Diri Para Pengembek)

8 Mei 2014   19:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:43 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada satu masa ada sebuah negeri yang sangat luas yang di dalamnya terdapat ngarai-ngarai, kali-kali, kebun-kebun, hutan-hutan, kolam-kolam dan danau-danau serta gunung-gunung yang tinggi. Negeri itu sungguh indah dan kaya akan berbagai hasil tambang, kayu, mineral dan lain-lain yang sangat melimpah. Namun demikian, seiring waktu berjalan negeri itu menjadi kumuh, kotor, jorok, semrawut, tidak teratur. Para penghuni negeri itu telah berubah dari ketertiban dan keadaban sebagai makhluk penghuni negeri yang beradab. Pembalakan liar atas hutan-hutan terjadi di mana-mana, pendangkalan kali, ngarai, danau oleh karena penduduknya membuang sampah ke dalamnya. Negeri itu telah banyak berubah dari sangat ramah menjadi sangat ekstrim. Ketika musim penghujan, negeri itu kebanjiran sedangkan ketika musim kemarau, negeri itu kekeringan. Sungguh keadaan yang sangat menyedihkan dan memilukan.

Pada suatu waktu dimusim kemarau, seorang tukang kayu dan teman-temannya yang tengah membuat berbagai peralatan dari kayu sedikit kaget karena banyak penduduk negeri yang berkumpul di lapangan yang terik untuk menerima jatah air secara berdesak-desakan dari penguasa negeri itu dan banyak dari penduduk negeri itu yang tidak kebagian air dan pulang dengan jirigen yang kosong karena pembagian air tidak adil. Air itu banyak diberikan kepada yang kenal/masih pertalian saudara dengan petugas pembagi air. Sang tukang kayu memandang kejadian itu dengan rasa sangat bersedih. Lalu salah seorang teman tukang kayu itu menepuk pundaknya

Paijo:"Kenapa bro, kok melamun dan tampak sedih raut wajahmu itu?"

Tukang kayu:"Itu lho kang, lihat saudara-saudara kita. Di negeri mereka sendiri yang katanya gemah ripah lo jinawi toto tentrem kerto raharjo tapi masalah air saja berebut saat musim kemarau seperti ini. Mereka harus mengantri dan berdesak-desakan untuk menadapatkan jatah air yang tidak seberapa, dan banyak dari mereka yang tidak kebagian. Lalu ketika musim penghujan, rumah-rumah, kebun-kebun dan ladang-ladang mereka terendam air banjir sehingga harta benda yang mereka kumpulkan dengan susah payah akhirnya musnah dan rusak. Banyak ternak mereka yang mati karena terendam banjir. Bahkan terkadang mereka harus kehilangan saudara-saudara yang mereka cintai karena terbawa banjir."

Paijo :"Lha terus piye bro?".

Tukang kayu :"Ya harusnya ndak begitu. Seharusnya air itu dikontrol dan diatur agar tidak ekstrim?"

Paijo:"Bro, gimana kalau sampeyan tak daftarin jadi kepala negeri ini biar bisa ngatur ?.Aku dukung deh"

Tukan kayu:"Kang..kang.. opo tumon tukang kayu jadi kepala negeri?"

Paijo:"Wis tah.Sing mantep. BismiLLah jadi (kepala negeri)".

Dan pada waktunya, si tukang kayu dilantik menjadi kepala negeri dengan meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang kayu. Teman-temannya memberikan dukungan moral dan spiritual agar si tukang kayu mewujudkan harapan penduduk negeri itu. Sang tukang kayu mulai membereksan seluruh kanal, muara, danau-danau, ngarai, kali, hutan dlsb. Tidak peduli pagi, siang ataupun malam sang tukang kayu yang telah dilantik menjadi kepala negeri menyusuri gang-gang sempit, becek, kumuh, jorok. Di setiap kesempatan itu, sang tukang kayu banyak sekali menemukan masalah yang dihadapi penduduk negeri itu lebih dari sekedar masalah pembagian air yang tidak adil.

Ketika bertemu sapi, sapi itu melenguh kelaparan. Ketika ketemu ayam, ayam itu berkokok karena sedang sakit. Ketika ketemu kerbau, kerbau itu mendengkur karena rumahnya kesempitan dan kumuh. Macam-macam yang ditemui sang tukang kayu. Sampai saat ketemu kambing sang pengembek ketakutan dan mengembek terus menerus karena rupanya di dalam kandang kambing ada musang yang berbulu kambing menakut-nakuti kambing itu untuk tidak mengiba dan meminta tolong kepada sang tukang kayu dan harus terus menjelek-jelekkan sang tukang kayu sebagai pembohong, tidak bisa berbuat apa-apa.

Setelah melakukan perjalanan di kampung-kampung sang tukang kayu memerintahkan kepada para punggawanya untuk segera membereskan semua masalah penduduk negeri itu. Yang sakit segera diberi fasilitas pengobatan, yang kelaparan segera diberi bantuan pangan, yang rumahnya kesempitan dan kumuh segera direnovasi. Macam-macam yang dilakukan tukang kayu untuk penduduk negeri itu. Namun dari beberapa penduduk negeri itu, yang paling susah untuk dibantu adalah para kambing yang mengembek karena ketakutan pada musang berbulu kambing. Diberi bantuan mengembek jelek, tidak diberi bantuan mengembek lebih jelek lagi.

Pada akhirnya setelah semua kali-kali, ngarai-ngarai, danau-danau, kanal-kanal, kampung-kampung telah dibereskan sang tukang kayu mulai membereskan kawasan hutan yang rusak parah oleh aksi pembalakan liar dan  membuat waduk yang sangat besar di daerah hulu untuk mengatur debit air sehingga bencana di dua musim tidak terjadi lagi. Saat pembangunannya, banyak penduduk negeri yang terdecak kagum atas keberanian sang tukang kayu karena di kawasan hulu terkenal angker, banyak demit, banyak setan, banyak tuyul dan gendruwonya.

Setelah hutan beres dan waduk sudah mulai nampak kemegahannya dalam mengatur debit air sehingga bencana di dua musim telah berkurang, sang kambing yang telah ditakut-takuti oleh musang berbulu kambing masih saja mengembek menjelek-jelekkan sang tukang kayu. dikatakanlah kepada setiap penduduk negeri yang ditemuinya bahwa si tukang kayu bukan penduduk asli-lah, si tukang kayu berkhianatlah dan berbohonglah, si tukang kayu bikin waduk dengan besi beton karatanlah sehingga waduknya ada bocor sedikit macam-macam kejelekan dilontarkan para kambing pengembek ini. Sehingga penduduk negeri yang melihat aksi kambing ini menjadi keheranan dan menganggap sang kambing sebagai penduduk yang tidak tahu terima kasih, sombong, belagu, sok pintar, sok kritis.

--------------------

Begitulah jiwa inferior, sensi dan melo yang terkadang dipenuhi ketakutan-ketakutan akan sesuatu hal yang sebenarnya tidak perlu untuk ditakutkan. Ketakutan yang dihembus-hembuskan oleh orang yang sebenarnya tidak menginginkan kita meraih apa yang menjadi cita-cita kebaikan dan kebajikan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun