"Kamu jahat...!!!" teriak hatiku marah.
"Aku...? Jahat...?" sahut otakku heran.
"Ya... Kamu jahat. Kau biarkan aku terluka, kecewa, sakit ...!" tukas hatiku cepat.
"Aneh... Bukankah aku sudah sering kali mengingatkan? Kamu sendiri yang tak mau mendengar," otakku masih mencoba bersabar.
"Iya... Tapi...,"hatiku kehilangan kata-kata. Mulai terisak. Isak yang begitu kering. Tanpa embun.
"Berhentilah bermain dengan perasaan. Beginilah akibatnya. Dibodohi, dikecewakan..."
Otakku mulai membujuk.
"Aku tak menyangka, ternyata dia tidak menyayangiku." lirih hatiku bergumam.
"Hai... Dia tidak menyayangimu? Yang benar saja. Dia sangat menyayangimu. Itulah sebabnya dia menghindar. Dia tak ingin membuatmu terperangkap si hasrat gila," hati kecilku yang sedari tadi diam menyahut cepat-cepat.
Hening.
"Rasanya memang benar begitu," otakku ikut mendukung.
Kembali hening.
Otak memerintahkan kepalaku untuk mendongak. Agar mataku bisa melihat langit temaram senja itu.
Pemandangan yang sungguh menakjubkan.
"Pandanglah mentari yang siap terbenam itu. Indahnya mungkin bisa mengurangi sedikit sesakmu,"kali ini otak memerintah hatiku.
"Kalo boleh usul, sebaiknya sudahi sajalah. Tak ada gunanya," otakku memecah kesunyian.
"Apa sih yang kita cari? Kita sudah punya segalanya. Ada suami yang sangat baik dan sayang. Ada Gita dan Nada yang butuh kasih sayang." otakku kembali angkat bicara.
Hatiku mendesah resah.
Slide wajah suami, wajah Gita, wajah Nada silih berganti melintas. Nafasku sedikit tertahan saat wajah Heru tiba-tiba menyeruak.
Ahhh...
"Tapi Heru...?" desis hatiku pelan.
"Heru hanya bagian dari masa lalu... Kita tak akan mengorbankan kebahagiaan kita demi dia kan? Gina dan Nada... Lihatlah mereka. Tegakah kita menghancurkan kebahagiaan mereka hanya demi hasrat gila yang melenakan?"
Hatiku tepekur... Berbagai kemungkinan berkecamuk.
"Heru pasti mengerti. Selama ini juga dia mau mengerti. Bahwa cinta bukan harus memiliki," otakku tak lelah membujuk.
Ya... Kalau mau jujur, Heru sebenarnya sangat-sangat pengertian. Dia tak mau mengganggu kebahagiaan keluarga kecil kami. Tapi dia juga tak kuasa  menghindar godaan. Karena dia juga masih memendam cinta itu.
"Tak ada yang sanggup melawan takdir. Ingatlah itu... Kita jalani saja alur ceritanya. Tuhan pasti tau yang terbaik buat kita. Juga buat Heru," lanjut otakku pelan.
Diperintahkannya kepalaku untuk sekali lagi mendongak.
Mentari hampir sempurna tenggelam... Sisakan jingga yang merona menawan.
...........
Aku bangkit. Kukebaskan pasir yang menempel di celana panjangku.
Mungkin benar,
Tak selamanya cinta bisa dan harus memiliki,
Heru hanyalah masa lalu,
Dia juga teramat baik,
Cintanya tulus,
Tak sepantasnya kugoda untuk menikmati hasrat gila sesaat,
Bila nanti cinta kami memang tertakdirkan untuk bersama,
Ku yakin cinta kan menemukan jalannya.
Itupun bila DIA mengizinkan...
Kupandang jejak sunset sekali lagi... Jingga hanya sisakan semburat.
Terasa benar-benar damai... Sedamai hatiku... Setidaknya untuk saat ini...
Hatiku, 16 Pebruari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H