Mohon tunggu...
Aluf Wahid
Aluf Wahid Mohon Tunggu... -

Interested in Islamic studies and Literature

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dekat Rel Itu...

26 Agustus 2013   12:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:48 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepertinya tak ada tempat yang lebih indah bagi kami selain di warung lesehan dekat rel kereta. Bahkan restoran paling bergengsi yang pernah aku datangi, tak ada apa-apanya dibanding segelas susu jahe ditemani sepoi angin malam, berdua denganmu. Setiap ada kesempatan, berdua kita ke sana. Membicarakan perbedaan-perbedaan kita, jarak-jarak antara kita. Bukannya harapan-harapan untuk dapat bersatu. Unik memang.

Hatiku sering sakit karenamu, mungkin kamu juga. Hatiku sering sakit karena jarak kita, mungkin kamu juga. Begitulah cara kita saling mencintai. Bahkan tidak cukup itu, kita juga menyempurnakan jarak-jarak itu dengan menghadirkan perempuan lain bagimu, dan laki-laki lain bagiku. Yach, hanya untuk saling menunjukkan bahwa kita tidak saling membutuhkan. Tapi nyatanya justru membuat perasaanku semakin sempurna kepadamu, padahal kamu sama sekali tidak mencerminkan tipe pria idaman. Jauh dari kehidupan yang mapan, penampilan yang terkesan seranpangan, tidak romantis dan cuek. Tapi kekurangan-kekuranganmu itu yang mungkin memikatku.

Aku mencintaimu, walaupun moment-moment bersejarah kita hanya sebatas duduk berdua di bangku depan kampus pada malam-malam kita, ngobrol di ruang redaksi majalah, di ruang tamu kostku, dan juga di warung lesehan dekat rel kereta. Tapi aku menikmati setiap jengkal waktu bersamamu. Bercerita, bercengkrama, dan berusaha saling menepis kegelisahan-kegelisahan hati.

Aku masih ingat obrolan-obrolan kita dekat rel itu.

“Setelah selesai kuliah, kamu mau ke mana, May?” Kamu membuka obrolan.


“Pengennya aku ngelanjutin ke S2. Tapi kata ortuku setelah S1 ini sebaiknya menikah dulu, baru boleh melanjutkan ke S2 & S3” Jawabku apa adanya, karena aku selalu terbuka padamu hampir semua hal. Kecuali satu hal mungkin, aku tidak pernah mengakui kepada siapapun apalagi kepadamu tentang perasaanku. Seperti biasa kamu tersenyum tipis.

“Dijodohkan atau nyari sendiri?” Tanyamu sedikit menggoda

“Paling banter dijodohkan” Jawabku ngawur sambil tertawa, walaupun, bisa jadi begitu.

“Kemungkinan dijodohkan berapa persen?”

“Berapa persen ya?” Aku sok mikir “ 70% kali ….” Jawabku semakin ngawur

“Wah seru dong kalo dijodohkan. Berarti peluang untuk nyari pasangan sendiri cuma 30% dong.” Komentarmu antusias.


Kami cuma tertawa.


Begitulah obrolan-obrolan ngelantur kami. Tapi setiap kali kamu ingat itu, kamu sering menggoda. “Kamu pilih yang 70% apa yang 30% ? Kalo yang 70%…  this is a wild world” Sergahmu, walaupun aku tak tahu jelas apa maksudnya.

“Kalo pilih yang 30% kasih tahu aku ya?” lanjutmu, lagi-lagi kami hanya tertawa. Setidaknya meringankan kegundahan perasaan bahwa kami memang sulit disatukan. Keluargaku memegang prinsip agama yang kuat dan taat yang berarti itu cukup berpengaruh dalam masalah jodoh. Aku tahu betul bahwa laki-laki untukku haruslah lelaki sholeh, alim, dari pesantren dan pandai dalam hal keagamaan. Aku setuju itu, makanya aku tidak ingin mengambil resiko hanya karena memanjakan perasaan sesaat dengan ‘memacarimu’ yang nota bene jauh dari kreteria lelaki pilihan keluargaku.

Yach ini hanya sesaat! Aku tak pernah menginginkanmu menjadi milikku selamanya. Cukup kau beri aku kenangan-kenangan manis itu …


--------


Kesempatan lain dekat rel itu.


“Berapa usiamu sekarang?” tanyamu, walau aku tahu kamu sudah hafal diluar kepala.


“Satu tahun lebih muda darimu, kan?” Aku menjawab juga.


“20 tahun ya?”


“Iya… Emang kenapa?” Jawabku sambil menyesap susu jahe hangat.


“Peristiwa masa kecil yang masih mampu terekam di memori kamu sampai sekarang, ketika usia kamu berapa?” Pertanyaan yang membingungkan. Entah apa maksudnya.


“Kamu ada-ada aja nich” Aku menepis


“Serius, jawab dong!” Kamu memandangku lekat. Aku juga memandangmu tepat di bola matamu. Ya Allah, kalau sudah begini aku ingin waktu berhenti berputar sejenak agar aku merasakan kebersamaan lebih lama lagi dengan laki-laki di depanku ini.


“Mungkin ketika usiaku 5 tahun masih ada hal-hal yang aku ingat. Dibawah usia itu… aku sudah lupa” Akhirnya aku menanggapi juga dengan menepis semua keterlenaanku akan tatapanmu.


”Kalo usiamu sekarang 20 tahun, berarti peristiwa itu terjadi 15 tahun silam ya?”


Aku mengangguk semakin tidak mengerti.


“Berarti batas memori yang kamu mampu rekam saat ini di masa lalu adalah rentang waktu 15 tahun ke belakang. Trus gimana dengan 15 tahun mendatang?”


“Rio, apa-apaan ini sih.” Aku makin tak faham.


“Apakah kamu masih mampu merekam peristiwa saat sekarang,  pada 15 tahun mendatang? yang berarti usiamu saat itu … 35 tahun” Lanjutmu tanpa memedulikan kebingunganku.


Aku terkesiap. Aku tidak menyangka dibalik kecuekanmu, analisismu cukup mendalam dan mengesankan ada kekhawatiran datangnya perpisahan. Hal yang tak pernah terfikir olehku sebelumnya.


“Aku belum tahu… apakah setelah usia 35 tahun nanti, aku masih mampu mengingat saat sekarang” Jawabku datar sambil menarik nafas panjang yang tiba-tiba terasa sesak.


“Gini aja, kalo umurmu udah 35 tahun, kamu telepon aku ya?”


“Untuk apa?” Aku mengernyit dahi tak mengerti.


“Untuk memastikan kalo kamu masih ingat peristiwa saat ini” Katamu tertawa. Ada gundah di sana, tapi selalu berakhir dengan keceriaan.


“Gak tahu deh!”  Aku terkesiap juga. Lagi-lagi kamu tertawa seakan tanpa beban.


Dan setiap kali ada kesempatan, seringkali kamu mengingatkanku. “Ingat! Usia 35 tahun, jangan lupa, telpon!”. Lalu kami tertawa bersama. Di dalam hatiku aku merasa bahwa kebersamaan kita ternyata mempunyai arti juga buatmu tidak hanya kini tapi mungkin juga nanti.


Sebenarnya masih ada 2 janji lagi yang yang kamu buat untukku. Tepatnya seperti sebuah perintah saja darimu. Selain wajib “lapor” (telepon) di usiaku ke 35 tahun nanti, aku juga diwajibkan “lapor” setiap malam lebaran. Bukan untuk saling minta maaf lahir bathin, tapi untuk membuktikan kata-katamu yang mengklaim setiap malam lebaran, pasti gerimis datang. Sedang aku ngotot mengatakan “belum tentu gerimis”.  Entahlah  …  mungkinkah dibalik pikiran “Aneh”mu  itu ada makna-makna yang tersirat yang sengaja kamu biarkan aku memaknainya sendiri.


Ada sebuah janji lagi yang cukup menegaskan jarak hubungan kita, cukup menjadi bukti bahwa kebersamaan kita hanya mampu mencipta kenangan saja, yakni kembali aku terkena wajib “lapor” jika kelak aku akan menikah (tentu bukan denganmu) karena kamu cukup faham dengan perbedaan-perbedaan kita. Walau lagi-lagi itu bukan untuk ucapan selamat  tapi untuk mengetahui mana yang akhirnya aku pilih, 70% atau 30% alias suamiku nanti adalah lelaki yang dijodohkan orang tua atau nyari sendiri. Dasar!


Kini janji-janji itu masih cukup kuat diingatanku. Tapi sepertinya itupun hanya bagian dari kenangan kita saja, bukan untuk direalisasikan, mungkin! Entah berapa lebaran kini telah berlalu sejak kita sama-sama lulus kuliah, dan satu kalipun aku belum pernah meneleponmu. Tapi dengan sedikit melongok keluar jendela setiap malam lebaran, untuk memastikan apakah ada gerimis di sana, sudah cukup mengingatkan aku kepadamu.

Yach, mungkin kebersamaan kita dulu, kata-katamu yang penuh makna-makna tersirat, memang ditakdirkan hanya cukup untuk mengukir kenangan saja.


(Dimuat dalam Ruang Publik Harian Radar Bromo JawaPos, Minggu, 12 Februari 2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun