“Gak tahu deh!” Aku terkesiap juga. Lagi-lagi kamu tertawa seakan tanpa beban.
Dan setiap kali ada kesempatan, seringkali kamu mengingatkanku. “Ingat! Usia 35 tahun, jangan lupa, telpon!”. Lalu kami tertawa bersama. Di dalam hatiku aku merasa bahwa kebersamaan kita ternyata mempunyai arti juga buatmu tidak hanya kini tapi mungkin juga nanti.
Sebenarnya masih ada 2 janji lagi yang yang kamu buat untukku. Tepatnya seperti sebuah perintah saja darimu. Selain wajib “lapor” (telepon) di usiaku ke 35 tahun nanti, aku juga diwajibkan “lapor” setiap malam lebaran. Bukan untuk saling minta maaf lahir bathin, tapi untuk membuktikan kata-katamu yang mengklaim setiap malam lebaran, pasti gerimis datang. Sedang aku ngotot mengatakan “belum tentu gerimis”. Entahlah … mungkinkah dibalik pikiran “Aneh”mu itu ada makna-makna yang tersirat yang sengaja kamu biarkan aku memaknainya sendiri.
Ada sebuah janji lagi yang cukup menegaskan jarak hubungan kita, cukup menjadi bukti bahwa kebersamaan kita hanya mampu mencipta kenangan saja, yakni kembali aku terkena wajib “lapor” jika kelak aku akan menikah (tentu bukan denganmu) karena kamu cukup faham dengan perbedaan-perbedaan kita. Walau lagi-lagi itu bukan untuk ucapan selamat tapi untuk mengetahui mana yang akhirnya aku pilih, 70% atau 30% alias suamiku nanti adalah lelaki yang dijodohkan orang tua atau nyari sendiri. Dasar!
Kini janji-janji itu masih cukup kuat diingatanku. Tapi sepertinya itupun hanya bagian dari kenangan kita saja, bukan untuk direalisasikan, mungkin! Entah berapa lebaran kini telah berlalu sejak kita sama-sama lulus kuliah, dan satu kalipun aku belum pernah meneleponmu. Tapi dengan sedikit melongok keluar jendela setiap malam lebaran, untuk memastikan apakah ada gerimis di sana, sudah cukup mengingatkan aku kepadamu.