Mohon tunggu...
Alsy Amalia Jasmine Muin
Alsy Amalia Jasmine Muin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Science & Technology Enthusiast, gemar membaca buku, mendengarkan musik, dan permainan asah otak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

QRIS dan Pandemi: Mengapa Risiko Kesehatan Jadi Prioritas Utama Masyarakat?

3 September 2024   13:26 Diperbarui: 3 September 2024   13:33 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

QRIS dan Pandemi: Mengapa Risiko Kesehatan Jadi Prioritas Utama Masyarakat?

Pandemi COVID-19 telah mengubah cara hidup masyarakat secara signifikan, termasuk dalam hal melakukan transaksi. Di tengah upaya mengurangi penyebaran virus melalui kontak fisik, metode pembayaran nontunai menjadi solusi yang sangat relevan. Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) muncul sebagai salah satu inovasi yang paling menonjol selama periode ini. QRIS, yang diperkenalkan oleh Bank Indonesia, mulai diberlakukan wajib pada Januari 2020 untuk semua penyedia layanan pembayaran digital di Indonesia. Teknologi ini menawarkan kemudahan dalam melakukan transaksi hanya dengan memindai kode QR, menghilangkan kebutuhan untuk menyentuh uang tunai atau mesin EDC.

Penelitian yang dilakukan oleh Denny Prasetya et al. (2024) dalam jurnal INTENSIF Vol. 8 No. 2 Agustus 2024 memberikan wawasan mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan QRIS di wilayah Jabodetabek selama pandemi. Dengan menggunakan model Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT), penelitian ini menemukan bahwa risiko persepsi terkait kesehatan menjadi faktor utama yang mempengaruhi adopsi teknologi ini. Dari 384 responden yang disurvei, ditemukan bahwa variabel risiko persepsi memiliki kontribusi terbesar, yakni sebesar 30,3% terhadap niat perilaku untuk menggunakan QRIS. Ini menunjukkan bahwa di tengah situasi krisis kesehatan, masyarakat lebih dipengaruhi oleh kekhawatiran akan keselamatan daripada oleh faktor-faktor lain seperti ekspektasi kinerja atau pengaruh sosial.

Dengan meningkatnya tren penggunaan pembayaran digital selama pandemi, yang juga didorong oleh anjuran pemerintah untuk meminimalisir kontak fisik, penelitian ini menjadi sangat relevan. Bank Indonesia mencatat peningkatan signifikan dalam transaksi nontunai sejak awal pandemi, yang mencerminkan adaptasi cepat masyarakat terhadap teknologi ini. Dalam konteks ini, memahami faktor-faktor yang mendorong penerimaan QRIS sangat penting untuk mengembangkan strategi lebih lanjut dalam mempromosikan penggunaan teknologi yang aman dan efisien di masa mendatang.

***

Penelitian yang dilakukan oleh Denny Prasetya et al. (2024) memberikan gambaran jelas tentang dinamika adopsi QRIS di wilayah Jabodetabek selama pandemi COVID-19. Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, para peneliti mengumpulkan data dari 384 responden melalui survei online, yang kemudian dianalisis menggunakan model UTAUT. Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah bahwa ekspektasi kinerja (PE) dan ekspektasi usaha (EE), yang sering kali menjadi faktor dominan dalam studi penerimaan teknologi, ternyata tergeser oleh risiko persepsi (PR) di tengah situasi pandemi.

Penelitian ini menemukan bahwa risiko persepsi memiliki kontribusi sebesar 30,3% terhadap niat perilaku (BI) untuk menggunakan QRIS, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi PE dan EE yang digabungkan hanya sebesar 29,9%. Ini menunjukkan bahwa dalam konteks krisis kesehatan, kekhawatiran masyarakat terhadap risiko penularan COVID-19 melalui transaksi fisik menjadi pendorong utama adopsi teknologi. Faktor lain seperti pengaruh sosial (SI), yang dalam situasi normal mungkin berperan besar, hanya memiliki kontribusi yang moderat terhadap BI, yaitu sebesar 10,1% untuk SI1 (pengaruh dari individu dekat) dan 8,2% untuk SI2 (pengaruh dari pemerintah).

Dari segi demografi, mayoritas responden dalam penelitian ini adalah perempuan (60%), dan kelompok usia yang paling dominan adalah 25-34 tahun (37,3%). Data ini relevan mengingat kelompok usia ini merupakan bagian dari populasi yang paling aktif secara ekonomi dan kemungkinan besar lebih terpapar oleh teknologi digital. Selain itu, mayoritas responden (67,7%) memiliki gelar sarjana, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mungkin berperan dalam kecepatan adopsi teknologi QRIS.

Penelitian ini juga menyoroti bahwa mayoritas responden menggunakan QRIS secara sukarela (81%), bukan karena paksaan protokol kesehatan. Namun, meskipun penggunaan QRIS meningkat, penelitian ini menemukan bahwa masih ada sebagian kecil masyarakat (21,6%) yang tidak menyadari anjuran pemerintah terkait penggunaan teknologi ini. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi telah diterima dengan baik oleh sebagian besar masyarakat, masih ada ruang untuk meningkatkan kesadaran dan edukasi, terutama di kalangan populasi yang kurang terpapar informasi.

Dari hasil ini, terlihat bahwa pemerintah dan penyedia layanan pembayaran digital perlu terus memperhatikan aspek-aspek yang mendorong dan menghambat adopsi QRIS, terutama dalam situasi krisis seperti pandemi. Penelitian ini tidak hanya memberikan wawasan tentang perilaku konsumen selama pandemi tetapi juga menawarkan panduan bagi strategi komunikasi yang efektif untuk mempromosikan teknologi pembayaran nontunai di masa depan. Kesadaran akan risiko kesehatan ternyata menjadi pendorong utama yang dapat dimanfaatkan dalam kampanye pemasaran dan edukasi publik.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun