Mohon tunggu...
S.DJumi
S.DJumi Mohon Tunggu... Lainnya - menulis apa adanya

Menulis apa adanya sebab hidup apa adanya Tidak mengada ada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fitri yang Fitri (02)

15 April 2024   09:49 Diperbarui: 15 April 2024   09:57 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku benar-benar takjub akan keramahan ibu dan kakak-kakak yang telah menerima aku apa adanya sehingga membuatku cerah lagi  hatiku. Berat semua ini aku lalui di tinggal mas Ahmad ketika aku bisa tahu betapa besarnya cinta kami selama ini. 

"fitri sebaiknya aku harus memakai baju lebaran apa esok sayangku?" pertanyaan yang entah mengapa membuatku kaget

" baju koko mas yang cerah " jawabku tanpa menoleh ketika aku terburu menyiapkan hidangan buka puasa saat itu.

"aku ingin baju  koko hitam atau putih"

"mas itu kan warna?"

"warna yang  tidak pernah aku suka, begitu sayangku?"

"ya mas yang cerah"

"tidak aku ingin warna hitam atau putih baju koko yang aku pakai esok waktu mau lebaran"

Aku tidak tahu itu firasat atau aku hanya felling yang seorang wanita namun mas Ahmad seminggu sebelum idul firti sudah membeli baju koko warna hitam dan aku merajuk akhirnya mau di belikan juga mukena warna hitam untuk shalat idul fitri kelak/

"benar sayangku?'

"belikiin juga ya mas?'

"siap ndan" kata mas Ahmad melucu dan kami berbuka puasa sore itu dengan cerianya aku lihat sinar mata mas Ahmad sedang gembira karena gaji THR dari perusahaannya sudah cair seminggu sebelum lebaran tiba dan aku tidak mempunyai firasat sedikitpun bila Allah Swt lebih menyayangi mas Ahmad.

***

Kamar mas Ahmad masih rapi sama seperti sebelum di tinggal  kami untuk menempati rumah baru, di sudutnya masih ada foto pernikahan kami yang  baru berjalan setahun berjalan, sedih, gembira seakan menjadi satu. Aku baru bisa menginjakkan kaki kerumah ini setela hampir setahun mas Ahmad berpulang. 

Rasa sedih dan gembira menyambur idul fitri tahun ini aku dietrima kembali sebagai anggota keluarga sejak peristiwa berpulangnya mas Ahmad dua tahun yang lalu.

"satu yang ibu mau minta apunya cucu dari anak lelaki ibu satu-satunya" kala kami baru menikah itulah permintaan ibu saat itu

"nggih bu' jawabku serentak bersama, aku tahu ibu mau menimang cucu dari anak lelaki satu-satunya dari dua suadara kakak perempuan mas ahmad, mba Fatimah dan mba Zaenab.

Namun Allah Swt lebih sayang mas Ahmad adalah nyata, hampir setahun aku tidak "diterima" sebagai anggota keluarga ibu karena masalah meninggalnya mas Ahmad yang secara tiba-tiba dan tragis tersebut, kecelakaan di jalan menjelang hari raya lebaran.

"mengapa kamu harus membujuk mas Ahmad untuk membelikan gamis dan mukena itu?'

"mengapa?'

aku tidak bisa menerima kenyataan ini karena aku adalah penyebab dari meninggalnya mas Ahmad sebab permintaanku membelikan mukena dan gamis hitam itu adalah sebagai salah satu sebab yang meninggalnya mas Ahmad.

Rahasia yang tertinggal

Aku harus bagaimana ada rahasia yang tidak bisa aku ucapkan lagi kepada mas Ahmad tentang kebahagiaan yang mengapa harus aku sembunyikan malam itu.

Kebahagiaan bahwa dokter telah memberi tahu aku bahwa aku sudah hamil dengan tes packjyang aku lakukan, malam takbiran itu sebenarnya aku akan memberikan kabar gembira itu kepada mas Ahmad.

Keluarga ibu tidak tahu kabar bahagia itu karena takdir mas Ahmad di sayangi Allah Swt waktu malam kemenangan itu tiba.

"aku harus bagaimana berkata kepada keluarga ibu, ini anak mas Ahmad bu"

"ibu tahu" jawab ibu bijak

"walaupun demikian semua tidak akan pernah tahu bahwa Ahmad anakku sudah meninggal dana menitipkana cucu ini kepada ibu"

Keluarga ibu sebagian tidak percaya dengan kenyaataan ini, sebagian menjauhi aku selama hampir dua tahun ini aku seperti kehilangan semua yang ada di dunia ini.

Aku adalah anak yatim piatu yang di besarkan ibu dan bekerja di perusahaan tempat bapak dan ibu mas  ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun