Senja di ufuk  Jogja
Waktu menjadi lain
Ketika sore merambat
Matahari meninggalkan segala kenangan
Hari ini semua tenggelam  bersama surutnya di barat
Aku merasa waktu di Jogja ini lain
Serasa  beda udaranya
Ojo gumunan lan ojo kagetan
Kata simbah  buyut
Nyata perubahan itu benar adanya
Namun aku tidak tahu kepastian apa yang mau kamu perjuangkan
Di detik awal hingga nanti
Suatu sore di sebuah perguruan tinggi di Jogja, ...
Kelas kuliah siang ini  terasa lain aku menikmati suasananya banyak guru besar yang masih saja libur di ganti asisten dosen membuat semangatku kala itu mulai kendor.
Banyak kasak-kusuk di ruang senat mahasiswa tentang perlawanan golongan kanan dan nasional terhadap golongan kiri yang dimotori PKI, aku menyebutnya pokrol dan pokrol, sebab mereka sebenarnya memperjuangkan ego dan ambisi dari kelompok yang mereka dukung.
"Partai mulai terpengaruh gaya Sukarno, yang menjadikan Nasakom sebagai panjinya" kata Beti kepadaku, semua menjadi gelisah
"Banyak barisan pelajar yang ikutan mba" tambahku lagi
"Safitri ini tentang apa ya, kok rasanya aku tidak enak dengan hari-hari ini" imbuh Beti kepadaku.
'Aku juga merasa ada sesuatu" jawab Safitri kepada Beti. Ini tentang fakta bahwa kliping dari berbagai koran kiri  banyak wartakan kegiatan dan kontra perlawanan partai PKI melawan kelompok kanan yang cenderung bertolak belakang.
"Masih di Jogja" kata Beti kepadaku,
"Aman apa maksudmu?' tanyaku kepadanya
"Aman tidak gejolak, adem"jawab Beti penuh semangat, sebab aktivis buruh ini juga pro revolusioner yang kontra dengan program Nasakom Soekarno.
"Aku hanya ikuti kemana air mengalir' jawab Safitri pelan
Fenomena Jakarta tentang "perlawanan" antar organisasi politik dan ormas sedemikian  keras hingga di ujung parlementer juga terpengaruh dengan kampanye golongan kiri dan pendukungnya yang ingin di pemerintah mempersenjatai kaum buruh dan petani untuk ganyang Malaysia.
Perkembangan revolusi tahun 1960 an membuat massa saling kubu partai dan ormas bukan gejolak antar partai namun juga ormas dan saling serang secara fisik tampak di Jogja.
Aku jadi ingat mas Bagus  ini benar perasaanku atau juga hanya gelisah menuruti emosi dari dada ini bila melihat mas Bagus dekat dengan Lindri waktu pentas di panggung ke panggung saat ini.
"Bila itu hanya akting saja dik" jawabmu menutupi keadaan ini
"Kamu harus tahu lho tri, kehidupan anak panggung itu beda dengan kita sebagai guru, mereka pacarnya banyak, apalagi mas Bagus itu ganteng, aku juga suka" jawab Beti kepadakuÂ
"Ganteng, buatku biasa bet, silahkan" aku sedikit ngeles dan berharap beti tidak bicarakan mas Bagus yang banyak cewek yang mengaguminya waktu pentas baca puisi atau drama di panggung Senisono.
"Tidak cemburu nih kamu?" tanya Beti kepadaku
"Buat apa cemburu, aku hanya  tidak suka dia sama mbak Lindri pegang-pegang tangan segala" jawab sedikit menahan marah atas pertanyaan Beti kepadaku
"Itu namanya cemburu " ledek Beti sambil tertawa kecil kepadaku.
bersambung..