Foto lama yang terselip di buku
Di balik buku
Hitam putih
Terpampang senyum yang tulus
Dan tanpa niat lain
Melihat Â
Tidak pernah terlupa
Akan perjuangan prinsip dan keyakinan
Dibalik pertentangan diri dan asa
Ingatkan kejadian yang telah berlalu membeku
Di mesin waktu
"Sungguh aku tidak pernah menyangka, pentas-pentas terakhir di Seni Sono itu adalah benar adanya, rasanya baru kemarin semua ini berjalan seperti biasanya namun aku sudah punya perasaan tidak enak kepadamu mas"
Tulisan di buku harian itu membuat aku sedikit penasaran untuk membuka di balik buku ada sebuah foto hitam putih yang aku tidak menyangka sama sekali itulah pentas sebuah pertunjukan yang membuat kala itu nenek berkesan.
"Namun semua harus menerima apa  yang terjadi tentang ambisi, keyakinan dan bagaimana  bisa berdikari karena menumbuhkan semangat dan keyakinan itu berat rasanya dan aku tahu, sebuah prinsip tidak mudah dilepas begitu saja dengan imbalan cinta atau harta se gunung"
Mas Bagus dan Safitri bertemu di bangku kuliah ASRI yang secara tidak terduga cinta pada pandangan pertama membekas dalam hati keduanya walau kala itu semangat patriarki dan persaudaraan masih kental, bila ada anak gadis  yang berumur sekitar lima belasan tahun sudah  kejar-kejar oleh keluarganya untuk menikah di kala tahun 1960 an kala itu masih wajar dan dibenarkan oleh undang-undang perkawinan kala itu.
Safitri tahu kala itu namun kebebasan dalam kuliah dan kesukaan pada seni adalah ujung pembebasan dirinya untuk bisa punya pacara ganteng mas Bagus dan inilah dunia remaja Safitri yang di  gadangnya setelah lulus sekolah pertama di desanya daerah Godean Sleman kala itu.
"Aku ingin terbang tidak terkurung dalam sangkar emas ini walau semua terpenuhi dalam hidupku namun ada rasa yang tidak bisa aku raih saat ini adalah satu kata kebebasan untuk diriku supaya bisa terbang diantara mega di langit biru yang sama"
"Setelah lulus sekolah pendidikan guru  harus kerja, masalah mau kuliah sambil kerja bisa to nduk?" pertanyaan ibu Safitri yang tidak bisa dia jawab tertulis jelas di buku hariannya di sebelah foto pentas seni.
"Namun aku ingin mempunyai keinginan tersendiri yang bebas dan bertanggung jawab" tulis Safitri lagi di bukunya
Kebebasan untuk memilih yang terbaik dalam hidupnya seakan menjadi jalan terjal waktu memutuskannya menjadi seorang seniwati yang biasa mengikuti nenek dan kakeknya untuk pentas adalah keuntungan sendiri buat Safitri dan rah itu mengalir deras ketika di putuskannya untuk menempuh pendidikan seni di ASRI kala itu.
'Menyalurkan bakat seni dan itu harus bisa dipertanggung jawabkan dari dirimu nduk dan itu adalah nyata" pesan dari kakek yang di tulisnya besar-besar di buku harian sangat membekas di pikiran dan perasaannya.
"Beberapa teman wanita dan lelaki datang di pendopo sambil melihat orang berlatih gamelan dan bapak serta simbok bertanya, kok banyak cowoknya yang gondrong rambutnya panjang-panjang dibiarkan terurai, aku hanya bisa tersenyum ketika bapak dan simbok bertanya kepadaku tentang  rambut para lelaki di biarkan panjang, itulah orang seni bapak jawabku singkat kala itu"
Bagaimanapun bapak adalah juga perangkat desa yang disegani di desa kami banyak orang yang senang latihan gamelan dan beberapa ingin jadi pengrawit yang ahli dalam menjalankan  tugas memukul gamelan sesuai irama yang ada yang kadang aku tidak mengerti arti gending-gending karangan Ki Narti sabdo dan pangkur jengleng Basiyo yang di dengar bapak lewat radio serta dalang kondang  kegemaran bapak dari toyan Wates yang aku lupa namanya membuat aku tetap berpegangan pada simpul jawa yang kental "
berambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H