Mohon tunggu...
S.DJumi
S.DJumi Mohon Tunggu... Lainnya - menulis apa adanya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis apa adanya sebab hidup apa adanya Tidak mengada ada

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Jogja 1965 (07)

13 September 2023   21:41 Diperbarui: 13 September 2023   22:32 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto lama yang terselip di buku

Di balik buku

Hitam putih

Baca juga: Jogja 1965

Terpampang senyum yang tulus

Dan tanpa niat lain

Melihat  

Tidak pernah terlupa

Akan perjuangan prinsip dan keyakinan

Baca juga: Menjadi Kamu

Dibalik pertentangan diri dan asa

Ingatkan kejadian yang telah berlalu membeku

Di mesin waktu

"Sungguh aku tidak pernah menyangka, pentas-pentas terakhir di Seni Sono itu adalah benar adanya, rasanya baru kemarin semua ini berjalan seperti biasanya namun aku sudah punya perasaan tidak enak kepadamu mas"

Tulisan di buku harian itu membuat aku sedikit penasaran untuk membuka di balik buku ada sebuah foto hitam putih yang aku tidak menyangka sama sekali itulah pentas sebuah pertunjukan yang membuat kala itu nenek berkesan.

"Namun semua harus menerima apa  yang terjadi tentang ambisi, keyakinan dan bagaimana  bisa berdikari karena menumbuhkan semangat dan keyakinan itu berat rasanya dan aku tahu, sebuah prinsip tidak mudah dilepas begitu saja dengan imbalan cinta atau harta se gunung"

Mas Bagus dan Safitri bertemu di bangku kuliah ASRI yang secara tidak terduga cinta pada pandangan pertama membekas dalam hati keduanya walau kala itu semangat patriarki dan persaudaraan masih kental, bila ada anak gadis  yang berumur sekitar lima belasan tahun sudah  kejar-kejar oleh keluarganya untuk menikah di kala tahun 1960 an kala itu masih wajar dan dibenarkan oleh undang-undang perkawinan kala itu.

Safitri tahu kala itu namun kebebasan dalam kuliah dan kesukaan pada seni adalah ujung pembebasan dirinya untuk bisa punya pacara ganteng mas Bagus dan inilah dunia remaja Safitri yang di  gadangnya setelah lulus sekolah pertama di desanya daerah Godean Sleman kala itu.

"Aku ingin terbang tidak terkurung dalam sangkar emas ini walau semua terpenuhi dalam hidupku namun ada rasa yang tidak bisa aku raih saat ini adalah satu kata kebebasan untuk diriku supaya bisa terbang diantara mega di langit biru yang sama"

"Setelah lulus sekolah pendidikan guru  harus kerja, masalah mau kuliah sambil kerja bisa to nduk?" pertanyaan ibu Safitri yang tidak bisa dia jawab tertulis jelas di buku hariannya di sebelah foto pentas seni.

"Namun aku ingin mempunyai keinginan tersendiri yang bebas dan bertanggung jawab" tulis Safitri lagi di bukunya

Kebebasan untuk memilih yang terbaik dalam hidupnya seakan menjadi jalan terjal waktu memutuskannya menjadi seorang seniwati yang biasa mengikuti nenek dan kakeknya untuk pentas adalah keuntungan sendiri buat Safitri dan rah itu mengalir deras ketika di putuskannya untuk menempuh pendidikan seni di ASRI kala itu.

'Menyalurkan bakat seni dan itu harus bisa dipertanggung jawabkan dari dirimu nduk dan itu adalah nyata" pesan dari kakek yang di tulisnya besar-besar di buku harian sangat membekas di pikiran dan perasaannya.

"Beberapa teman wanita dan lelaki datang di pendopo sambil melihat orang berlatih gamelan dan bapak serta simbok bertanya, kok banyak cowoknya yang gondrong rambutnya panjang-panjang dibiarkan terurai, aku hanya bisa tersenyum ketika bapak dan simbok bertanya kepadaku tentang  rambut para lelaki di biarkan panjang, itulah orang seni bapak jawabku singkat kala itu"

Bagaimanapun bapak adalah juga perangkat desa yang disegani di desa kami banyak orang yang senang latihan gamelan dan beberapa ingin jadi pengrawit yang ahli dalam menjalankan  tugas memukul gamelan sesuai irama yang ada yang kadang aku tidak mengerti arti gending-gending karangan Ki Narti sabdo dan pangkur jengleng Basiyo yang di dengar bapak lewat radio serta dalang kondang  kegemaran bapak dari toyan Wates yang aku lupa namanya membuat aku tetap berpegangan pada simpul jawa yang kental "

berambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun