Mohon tunggu...
S.DJumi
S.DJumi Mohon Tunggu... Lainnya - menulis apa adanya

Menulis apa adanya sebab hidup apa adanya Tidak mengada ada

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Sayap-sayap Patah Cendrawasih (10) Tragedi di antara Emas dan Intan

16 Juni 2023   20:17 Diperbarui: 16 Juni 2023   20:27 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi yakin

ketika semua menjadi tahu

rahasia terbesara sejak tiga puluh tahunan yang lalu

aku hanya bisa melihat

tentang matinya tikus dalam lumbung

dan hilangnya burung pipit di atas hamparan sawah

aneh

namun nyata

....

Aku masih tidak bisa melepas genggaman Hp di tanganku ini tentang rasa yang masih terpendam diantara lagu tentang cinta kami yang tidak bisa kami nyanyikan lagi karena perbaedaan jarak yang lumayan jauh,

"aku tidak mengira mas Jogja bisa rusuh begitu" tanya Yan kepadaku

"bukan rusuh hanya perkelahian saja" jawabku  sedikit menerangkan kepadanya

" dipapua masih  biasa perang suku, aku takut menular ke Jogja" jawabnya lugu

" ini tentang kesalah pahaman oknum yang libatkan banyak orang dan caos jadinya"

"semua sudah berakhir kan?"

"aman.,kalau ke Jogja..Yan"

Peran suku, sekelompok orang yang ingin pisahkan diri dari NKRI nampakanya masih marak di bumi Papua sana, sebab rasa nasib dan sepenanggungan hanya  sekelompok kecil saja yang membuat semua menjadi suasana "perang" bagai nyata, inilah perang suku yang sebenarnya mengunggulkan harga diri untuk membela kebenaran sejati yang ada dan demi nama baik suku yang di unggulkan segaal acara di lakukan hingga salaing perang yang ujungnya luka dan kematian yang tidak di inginkan.

"aku jadi  berpikir begitukah KKB itu?"

"aku tidak bisa katakan ya atau tidak kakak"

"sebab itu prinsip mereka?"

"tidak juga sebab kami sudah pintar untuk  kelak kelola daerah kami ini"

"ini tentang cinta kepada tanah tumpah darah  juga to Yan?'

"sepertinya kakak lupa, ibarat kita jalan-jalan di Malioboro maka banyak etalase toko yang pengin kita kunjungi dan itu menariknya , inilah Papua yang sekarang kami melihatg etalase itu untuk menuju daerah mandiri yang berdiri sendiri itulah keinginan bapa dan mam-ma kami di tanah paua ini kakak"

Aku diam ibarat etalase toko benar adanya tanah papua adalah nyata dan inilah yang mereka dambakan untuk mengelola sendiri tanpa campur tangan Londo dan orang asing disana. Ibarat petani sudah terlanjur mencangkul dan membuat bibit namun hujan tidak segera datang dan  rugilah para petani itu.

Papua memang tanah yang harus bisa mengurus diri dan juga bisa memakmurkan dirinya dengan kekayaan yang luar biasa emas, tembaga dan juga perak itulah kekayaan yang sesungguhnya harusnya kembali ke orang asli namun sampai sekaran belumlah dapat dan sampai ketujuan yang di idamkan itu.

Yan masih diam tidak melanjutkan apa yang ingin di ungkapkan kepadaku karena semua menjadi nyata di tanah "perjuangan " itu dan harapan yang mereka impikan selama ini dan itu nyata adanya.

..tidur diantara tumpukan emas yang menggunung

dalam lapar dan hati yang nelangsa

realita 

karena gudangnya sudah di beli tuan para investor'

tinggal menunggu dalam dingin

mencari sesuap nasi 

dalam kegalauan hati yang selalu menghantui  diri

dalam bayangan hitam yang mengikuti

....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun