Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebait Puisi di Pinggir Trotoar Malioboro

30 Oktober 2022   07:55 Diperbarui: 30 Oktober 2022   08:03 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebait puisi  dipinggir trotoar

..Melihat lorong penuh kenanganseperti burung bebas di belengggu kurungan
hujan tidak bisa biaskan kenangan
Arti kata hati
Hilangnya derai tawa spontan

...

Tak terasa kenangan itu menjadi nyata untuk membalikkan keadaan saat ini.
Gerimis akhir oktober yang entah kesekeian kalinya aku rasakan.
Kuliah kehidupsn nyats ditengah hedonisnya dunia saat ini.

Mengenang penjual wedang ronde dengan guyonan yang khas itu. Sepertinya ada rindu yang dalam.

 Ketika semua nilai berubah menjadi angka dan uang. Sebab sejengkal tanah di Jogja sudah di pajeki.
Saat waktu dinilai senbagai disiplin yang bernafas uang.
Jangan kaget kalau semua jalanan tiap pagi dan sore macet.

Becak kayuh tergusur becak motor, ojek kampung tergerus ojol hanya andong dan sepeda yang bertahan terhadap perubahan zaman.


Orang belanja tinggal klik demi kemudahan pedestrian di bangun untuk nyaman pejalan kaki.


"Haruskah pedagang PKL tergusur oleh toko waralaba dan pasar tradisional tergantingkan mall dant oserba" keluhku.

Baca juga: Gerimis Malioboro

Sawah tergusur proyek nasional sebentar lagi jalur tol mencaplok tanah pekarangan dan pertanian akan lunas terganti rupiah tanpa solusi. Setelah huru hara bandara yang berakhir semua harus manut yang diatas.

Arjuna tahu jogja baru berubah kelak penyatuan Joglosemar antara Jogja, solo dan semar sebuah retorika metropolitan kebudayaan adalah nyata.
Walau semua sudah paham bahwa bisnis bisa kalahkan nasib dan budaya orang Jogja itu bukan sebuah ke khawatiran diatas kertas namun ada di kehidupan nyata disini.


"Sebuah perubahan yang tidak bisa di tolak lagi "kata Gareng di dekatku ketika aku mencoba menutupi segala gundah dengan menuangkan di gadgetku.


"Nyata mas sekarang semua bisa serba cepat sekedip mata di rel KA lebih berharga itulah hidup sekarang"

Gareng teman yang hanya bisa aku temui diantara pojok-pojok angkringan dan sudut orang-orang kecil saat ini.
"Banyak gajah yang ngidak rapak, banyak pejabat yang langgar aturan yang dibuatnya sendiri" imbuh mas Gareng kepadaku.

"Semua dengan perbandingan kota besar dan tidak mau tahu betapa arifnya budaya lokal"keluh arjuna ketika melihat banyak K pop bertebaran di pamlet dan baleho diseputaran Jogja.
"Lirih semua ibarat sedemikian hebatnya pengaruh itu di bawah sadar katalis nurani kita", sambung maa gareng kepadaku.

Kepada gerimis semua mengadu
Tentang cinta dan harapan
Lagu sendu hujan di akhir oktober ini
Sebab semua harapan bisa saja membuncah asa yang tidak terjawab diujungnya. Waktu menjadi penentu arah mata hati ini.

Ketika langit senja diatas kota Jogja mulai tampak ina. Pendarnya tampakkan bayangan gedung-gedung kolonial pengingat masa lalu

Semua berharap kepada kemuliaan hati yang dalam sak wasangka dan niat baik yang ada.

Sepagi ini semua harus tetap akui didinginnya oktober ini Walau ukuran setia itu ujungnya materi ditengah hilangnya rasa memiliki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun