Malioboro di antara bisnis dan budaya (2)
Ketika hampir 2000an PKL dan pekerja informal lain sudah setuju dari status informal kelak menjadi formal adalah tanggung jawab pemerintah kota untuk menertibkannya.
Sungguh pemda DIY yang diwakili sekda Baskara aji K sudah warning antara tanggal 1 sampai 8 Februari 2022 adalah tenggat terakhir kepindahan PKL Malioboro ke bekas Dinas pariwisata dan bioskop ratih adalah nyata.
Seiring proyek Malioboro an sich untuk jalur pedestrian seakan inilah langkah utama "pembersihan" kawasan ini dari kesan kumuh untuk ditingkatkan sebagai kawasan belanja seolah di luar sana.
Banyak PKL yang masih belum menerima atas relokasi ini kemudian wadul ke DPRD kota Jogja dan LBH langkah hukum yang sungguh benar adanya.Â
Dulu konon trotoar ini dulu luar biasa mahal menyewanya bukan ini alasannya tetapi bagaimana tindak lanjut payu dagangan mereka itu yang dipikirkan karena badai covid 19 sudah lumpuhkan mereka.
Namun alasan ini tidak digubris walau langgar aturan yang ada serta hilangnya fungsi trotoar serta keluhan pemilik toko inilah yang jadi tolok ukur untuk "bersihkan" Malioboro secepatnya.
Malioboro memang pernah menelurkan banyak seniman tingkat nasional dan internasional tetapi semua tinggal sejarah.
Antara budaya vs bisnis
Sebentar lagi Malioboro akan berubah layaknya pecinan di Singapura atau di Amerika dan kiblat itu sudah terang benderang.
Sungguh sebenarnya gaung "kematian "Malioboro seakan sudah nyata dan akan tinggal sejarah karena tata kelola yang tidak profesional pemda DIY.
Setelah berdirinya bandara YIA pertumbuhan kota jadi ke arah barat banyak toko yang sedikit demi sedikit akan relokasi kesana apalagi bila jalan tol sudah jadi semakin sepi adanya.
Malioboro yang dulu sangat berbeda dengan saat sekarang, jauh, karena kehilangan ruh budaya, yang ada ruh bisnis dan cari untung.
Bila tempat wisata pedestrian itu jadi hanya akan utamakan bisnis bukan pupuk nilai budayanya itu nyata!
Langkah nyata pemkot kota Jogja dan Pemda DIY ini sungguh bagus untuk niat tumbuhkan kawasan nilai heritage pada selasar dan bangunan kunonya, tetapi sejarah keemasan jalan Malioboro ini kelak hanya terpaku pada nilai bisnis dan lupakan nilai yang lain.
Ning ngono yo ngono ning ojo ngono belajar kasus YIA ketika gubernur Jogja kalah karena salah menetapkan lahan maka relokasi PKL Malioboro ini harusnya arif dan bijaksana.
Pemaksaan kehendak akan lukai hati rakyat dan turunkan kepercayaan dan tingkat legitimasi pejabat DIY ingat itu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H