Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Bapak, 1965: Hantu Zaman (06)

6 September 2021   19:52 Diperbarui: 6 September 2021   20:18 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jejak bapak, 1965: Hantu Zaman (06)

Sayyid jumianto
Sebagai pelukis tumpuan keluarga sungguh bapak tetap yakin semua rejeki hanya Allah swt bemar adanya.


Beberapa lukisan besar di buat di sanggar yang ada di pinggir kota ini beberapa lukisan sengaja dibingkai besar-besar yang membuat aku takjub adalah di bawa ke Jakarta.

 Salah satunya untuk menyambut ulang tahun partai politik kiri yang diselemggarakan besar-besaran di Senayan Jakarta. 

Beberapa gambar ada yang aku kenal ketika aku kebetulan diajak bapak ke sanggarnya yang sederhana itu di sebuah ruang pendopo kuno bekas milik bapak panewu desa kami dulu.

 "Iki anakmu to?" Tanya seseoramg pada bapak sambil mengemasi beberapa lukisan ke atas truk. ",ya mas ini anakku yang pertama" kata bapak sembari mengambil karton kardus bekas untuk tutupi hasil lukisan itu.

 Betapa hebat mereka bisa pamerkan lukisan-lukisan yang besar itu ke Jakarta. "Sekalian nanti setelah sampai Jakarta kita ikutkan pameran untuk sambut HUT Republik ini"kata seorang yang gondrong dan suaranya membuat semua yang disitu diam membisu.

Sinyal ulang tahun dan tanda-tanda itu sebenarnya bapak sudah katakan pada ibu dirumah"jaga anak-anak aku tahu ini semua keadaan harus kita cermati  keadaan ini" kata bapak pada kami waktu makan sore ini. 

"Sesuk wong ngerti yen kahanan ini nunggu "njebluge" " kata bapak ini tidak aku mengerti tetapi ibu cuma diam diantara kami yang nikmati makan sore ini.

Walau bapak dekat dengan orang-orang kiri tetapi bapak selalu bisa jaga ideologinya. 

Sanggar itu hanya tempat bapak cari makan, tempat menghargai harga diri sebagai seniman yang selalu kontra dengan seniman berhaluan barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun