Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak Pantai (16) Terjebak

13 Juni 2021   08:14 Diperbarui: 13 Juni 2021   08:20 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak pantai (16) terjebak

Sayyid jumianto
Waktu telah berlalu kenapa aku resign sementara dari bengkel motor di kota akhir sedikit terjawab.

 Aku ingin buka bengkel pribadi, aku ingin buktikan di kampung nelayan yang sederhana ini aku ingin semua bisa ceria, membantu memperbaiki mesin kapal ngakali yang rusak dan tidak usah beli mesin kapal baru.

 Seperti tantangan untuk hidupkan mesin fresser pembuat es balok ini. Sungguh tantangan buatku hampir dua puluh tahuna kata bapak mesin ini mangkrak, sehingga hasil tangkapan ikan harus di jual murah pada tengkulak.

Inilah yang membuat nelayan kecil tidak bisa tentukan harga karena takut busuk ikannya bila menunggu pedagang dari kota esok harinya. Sungguh pedagang besar, tengkulak besar serta pemilik kapal besar tidak mau tahu.

 Pemilik dan pemodal besar mereka seenaknya saja menghargai ikan tangkapan nelayan karena mereka punya armada monopoli sendiri, armada milik dan kuasa sendiri yang ada.

"Kudune, harusnya semua bisa diperjuangkan tetapi mengapa setelah hampir tujuh presiden pabrik es ini tidak pernah diurus lagi le, alasan klasik tidak ada dananya!"kata bapak pada kakak. 

Angin laut ini menjadi petunjuk musim labuh segera datang, labuhan yang ramai, pasar malam yamg riang tidak ada lagi alasannya satu pandemi virus korona.

 Sepi semua hajatan tidak seriang dulu ada organ tunggal nyanyian biduan pantura tidak terdengar lagi.

 "Beberapa jadi zona merah lagi karena longgarnya hajatan pernikahan dan juga dampaknya mudik lebaram kemarin semakin buat sepi semua di desa kami.

Kakak yang mencoba tulus membantu hidupkan mesin freser ini seakan menemukan "musuh baru" seperti waktu dulu tenggelamnya kapal bapak karena di salahin orang lain yang iri pada kami tetapi ternyata mesin kapal bapak dan ombak besarlah yang hempaskan kapal kami.

"Tidak mungkin kapal bapak di salahin orang lain karena mesin kapal bapaklah yang buat kapal tergulung ombak dan hancur timbulkan korban "kata bapak pada kami.

"Bapak mburuh saja le"lanjutnta lagi. Karena alasan simpel tidak bisa hilangkan rasa bersalahnya dan musibah itu masih terlalu sakit di hatinya yang terdalam sampai saat ini.

Kami berbincang diserambi rumah sampai larut yang buat kami optimis bila kelak badai virus corona ini berlalu semua akan ceria kali adanya.

#salam buat k sianer atau yang sudi membava cerpen ini.

# di lanjutkan dan dibagi juga di jogjakiri.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun