Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Tantangan Menulis Novel 100 hari] Buku Biru 68

1 Juni 2016   17:21 Diperbarui: 1 Juni 2016   17:30 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita hari yang keamrin

#‎TantanganMenulisNovel100Hari

hari ke 68

CINTA, BUKAN NAFSU (5)

Bukan aku merindukan hati ini tetapi harus  entah mengapa aku menjaga gengsi juga tetpi akhirnya takluk juga langkah kaki untuk bertemu dengannya

“aku ingin bertemu dengan biru “

“dimana mas?”

“di warung burjo depan kampus kita dulu”

“mas…mellow ya?”

“aku ingin mengenang masa lalu kita biru”

“mas..jangan membuat hatiku bertanya”

“aku ingin kamu tidak bersedih lagi biru”

“kehilangan membuatku tetap tabah mas”

“jangan mengingkari hati nuranimu”

“aku sudah punya tambatan hati mas”

“siapa?”

“kedua buah  hatiku”

“aku tahu”

“apakah kamu sudah punya tambatan hati mas?”

“aku baru kelihatan melompati mesin waktu biru”

“mas melipat hidup sendiri mengapa?”

“karena kamau biru”

“maaf membuat mas patah hati ya?”

“aku baru tahu sedihnya sampai ..”

“ditulis dalam novelmu?”

“aku tahu biru…”

“ya besok habis kerja yam as”

“mengapa?”

“sekolahan kami baru ujian kenaikan kelas mas”

“aku baru tahu juga”

aku diam dan menyudahi telepon ini, janji di warung burjo depan kampus dulu kami.

Siang yang membuat aku merasa bersalah kepada kedua anakku dan terutama pada Yun, aku berpura-pura tidak mengenal mas ganteng tepan di depan hidungnya karena kau malau pada Yun yang kenyataannya aku dan dia sudah pernah bersama lebih hampir dua tahun pacaran, “yang-yangan” kata orang Jogja, walau akhirnya aku yang dulu mencintainya terpaksa “menerima” mas harun karena”sayembara”aku yang kelewat dan inilah takdir aku sekarang.

Aku menunggu di warung burjo yang dulu menjadi saksi bisa cinta berdua kami dan aku tahu dua belas tahun hampir berlalu sekarang adalah nyata suda berganti anaknya sangbapak ternyata sudah meninggal setahun yang lalu.

“bapak sudah meninggal bu setahun yang lalu”

“oh begitu ini puteranya yang dulu masih smp?”

“ya bu, langganan ya bu?”

aku hanya mengangguk dan diam melihat dia menyajikan bubur kacang ijo didepanku dan aku menunggu sedikit tiba-tiba mas ganteng datang tepat di belakangku mengagetkan aku.

“maaf biru aku terlambat”

“biasa selalu late, terlambat”

“lebih baik terlambat dari pada tidak”

“ha?”

“ya kan?”

“sama”

“aku tahu…” jawabku sedikit ngeles juga

“mengapa?”

Kami diam amau berkata apa ini pertemuan aku kedua setelah lama menghilang

“biru semua telah berlalu”

“akan dimulai lagi boleh mas?”

“terserah, kita tidak akan clbk kan?”

“kok begitu?”

“tetap cika aja”

“apa?”

“cinta kita abadi mas??”

“aku pernah melupakanmu biru”

“mengapa?”

“setelah aku kalah dalam “perlombaan “itu, aku menghilang dalam sedih”

“mengapa?”

“2006”

“mengapa,gempa?, aku coba menebak

“benar 27Mei 2006 itu membuat segalanya berubah total semua saudara hilang bagai ditelan bumi”

“aku tidak tahu mas benar..”

Memang aku tidak tahu selepas aku di peristri mas harun aku tidak bisa mengetahui dunia luar komplek polri,

“maaf bila aku selalu menyakiti hatimu mas”

“aku tahu aku tidak mau merusak kebahagiamu”

“tentang pilihanku itu”

“ya itulah yang juga membuatku serasa dunia runtuh biru”

“aku baru tahu” aku benar-benar malu mendengar dia langsung bercerita tentang nasib yang tidak seberuntung aku.

“kok diam biru, burjonya dingin ini?”

Aku kaget memang dia masih selalu ceria walau sedih tampak di kelopak matanya garis sedih yang selalu membuat aku malu bila memandanga mas ganteng di depanku, aku merasa bersalah.

“kok diam ayo makan bubur kacang ijonya”

“ya mas”

kami diam dalam bahasa makan yang meringankan hati aku dan mas ganteng ini, walau aku melirik ke depa  kewajahnya yang mulai memutih sebagian rambutnya, nampak perjuang hidupnya lebih keras dari pada aku aku lihat tangannya tetap kekar di depannya langsung tatap muka dengannya.

BERSAMBUNG...

BUKU BIRU

AL MURU'AH SAYYID JUMI ANTO

NO.62

JUMLAH KATA 546/ 40.026 KATA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun