Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pathok Bandara, Sebuah Novel (15)

8 Februari 2016   15:37 Diperbarui: 8 Februari 2016   16:31 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Ini cerita yang kemarin :

http://fiksiana.kompasiana.com/alsayidjumianto/pathok-bandara-sebuah-novel-14_56b4ab1e547a61b20a2a3587

 

Pagi, Sore, dan siang sebenarnya semua dulu tentram dan damai, banyak senyum yang ditebarkan di sudut-sudut desa kami dan setiap orang yang dijumpai kadang selalu terlebih dahulu memberikan senyum, uluk salam memberi salam ya salaman kepada yang tua dari yang muda dan yang lebih muda hormat menghormati pada yang lebih tua untuk selalu menyelaraskan hati dan kedamaian disini, senyum dan saudara lebih mulia dan tahu apa yang ada dan sedang dirasakan para sedulur.

 

senyum itu

 

semua seakan menghilang

karena demi

atau kah tidak demi

 

aku tahu perasaan ini

entah mengapa

sekarang mulai hilang

 

pada takut

ataukah tidak tidak 

aku tahu perasaan ini

 

sebab rakyat juga punya hati...

 

Puisi ini aku tulis lagi di HP ku dan aku tahu maksudku untuk melepaskan penat  hati dan nurani ini yang semakin tertindih oleh "batu besar" mega proyek bandara yang sudah mulai entah kenapa mengorbankan hati dan kepercayan  rakyat kecil,  wong cilik yangselalu mendukung ide apapun dari pemerintahan tak kecuali ide-ide besar yang pada mangkrak akhirnya rakyat selalu mendukungnya walau akhirnya rakyat juga yang kaan jadi korbannya dan bahkan dikambing hitamkan oleh pelaksana-pelaksana di pucuk-pucuknya yang jelas-jelas merugikan rakyat yang rela berkorban demi kepentingan kami juga.

Hujan Januari dan awal februari ini tidak menyurutkan petani untuk menanam padi dan hingga awal februari ini masih ada titik-titik hujan yang diharapkan untuk menanam padi penghasilan pokok rakyat dan sedulur didesa ini

"mba kayaknya uritan padinya sudah siap dtanam" kata lik Man padaku pagi tadi sewaktu aku mau berangkat  untuk mengajar

"ya monggo lik, simbok nanti suruh  mempersiapakan untuk yang menanam bibit padi ini,..terangku padanya aku menghargai perjauangmu  lik-lik sebenarnya kita dulu itu berteman entah mengapa  setelah tamat SMA dulu kamuikut bapak mburuh di sawahku, jangan malu, hatiku melas tetapi apa daya dia sudah lama membantu keluarga kami sejak sekolahdasar bersama bapak ibunya dan kami anggap sebagi sedulur dan simbok juga suka pekerjaannya yang selalu bagus dan cepat selesainya, waktu bapak masih sugeng bapak selalu berpesan bantulah kami walaupun kami juga orang tidak kaya tetapi saling bantu dan gotong royong adalah semangat kami

"tapi mba, "dia mengagetkan lamuananku dimeja makan pagi ini,simbok sudah datang didekatku dan mulai akan makan  pagi ini

"makan dulu man "kata simbok pada lik man

"ya , nggih bu di duduk dan dekat sebelah simbok kurang dua kursi dariku 

"mari , endhi mbo tum  mou ? tanya simbok padaku

"Lagi njerang teh di pawon, mbo "kataku dan tampak bu lik Tum datang dan membawa sebaki beberap gelas diatasnya dan dibagi kami berempat kami makan pagi dimeja tua warisan simbah kami

"ya itu man kamu harus tahu berapa orang yang mau buruh nandur nanti  biar denok yang menyiapakan uborampenya " kata simbok padaku

"beres lik man aku sudah ambil ATM kemarin" celetukku

"nggih mba saya juga mu ikutan nandur  biaar dapat ,," kata lik tum memohon pada simbokku

"yo  tidak pa pa kok "kataku dan simbok menggangguk tanda setuju

Kami makan pagi di ruang tengah pendapa ini entah kami akan selalu makan pagi ini lagi ataukah inikah bisa jadi makan pagi terakhir kami sebelum raksasa mega proyek itu menelan mentah-mentah desa dan lahan persawahan kami.

Aku masuk kamar mengambil helm dan aku mengambilnya dekat lemari disudut kamarku ada bel berbunyi di HPku dan aku llihat ini pasti sms dari si kumal ribut itu, pikirku, aku lihat sepintas dan agaknya sedikit benar

"ada apa sayang sudh masuk kerja?"sms yang selalu begitu setiap pagi, aku hapus saja biar aku tidak mikir dan bete dibuatnya

"siapa yang ngebel tanya simbok padaku

"teman mbo"jawabku singkat,sambil aku menyalami simbok pergi ke sekolahan tempat aku mengajar, ya di kota kabupaten Kulon Perkakas ini dan ibu kota Batas nampak sedang bersolek bagai gadis muda yangpenuh solek dan impian kumbang-kumbang yang mengerubutinya kelak

apakah harus rakyat dikorbankan?

besambung...

**

uritan:bakal tanamanpadi

Uborampe:macam-macam keperluan

masih sugeng:masih hidup

mangkrak:tidak diurus lagi

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun