Mohon tunggu...
Sayyid Jumianto
Sayyid Jumianto Mohon Tunggu... Guru - Menjadi orang biasa yang menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pathok Bandara, Sebuah Novel (12)

2 Februari 2016   19:54 Diperbarui: 2 Februari 2016   19:59 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Cerita yang kemarin:

 

http://fiksiana.kompasiana.com/alsayidjumianto/pathok-bandara-sebuah-novel-11_56ad0a8f8e7e61720e0441b7

 

 

Pasrah

 

Ya simbok pasrah dengan keadaan,

aku tahu

tetapi hatiku tetap berkata tidak

 

bukan tentang

uang, atau harta benda

kekayaan

 

tetapi harga diri

kami

yang kami perjuangkan

 

Nampaknya pengusaha cakil dengan pengikutnya sudah bergerilya jauh sebelum ada sosialisasi ini aku baru tahu , Pakde Karto yang dulu getem-getem  sekarang pasrah bongkokan, tanah dan sawahnya yang belum dibagi sudah ludes dibeli para anak buah pengusaha cakil, ya calo-calo tanah itu.

Menurut kabar Pakde Karto dilunasi segala hutangnya dengan syarat semua harta bendanya di miliki dan dibayar semurahnya, ya demi “calon bandara “  ini aku baru tahu cara-cara licik ini.

Simbok benar mengajarkan aku pasrah pada keadaan, bukan pasrah yang menyerah untuk kalah demi segepok uang dan ludes dikemudian hari, nampaknya panitia pembangunan Bandara baru ini jug aintesnif melakukannya dor to dor walau kadang kalah cepat dengan pengusaha Cakil yang masuk dengan mengiming-imingi dengan uang banyak dalam koper-koper mereka.

Apakah bila bapak tahu ini tidak dilawan, ataukah kepasrahan simbok hanya sebagai senjata, banyak alternative untuk membela sedulur kiri kanan yang seakan pasrah pada bongkokan, menyerah sebelum bertanding, aku tidak bisa, hatiku tetap berkata harus di pertahankan, lha wong tanah warisan dan tanah kelahiran ibarat ya tanah tumpah darah. sedumuk batuk senyari bumi.

 

Resah

 

tak bisa kutahan dalam hati

untuk menulisnya

dalam kertas

 

dalam lingkar puisi

membela

tanah

 

lahir dan tumpah

kelak berpulang kita

kembali

 

Membela yang benar, dalam pasrah atau aku harus kembali

“mas guru kami tidak tahu kejadiannya apakah kita harus membela pemerintah yang “emberi proyek besar ini” ataukah kita harus menyerah pasrah kepada ganti untung dan rugi , walau kedepanya tidak bisa untuk kembali membeli tanah dan lading kami itu” itulah deret kata yang ku dengar dan ku tulis dalam hati sedemikian pasrahkan mereka….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun