Korupsi masih menjadi masalah besar yang belum bisa ditangani di Indonesia. Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun lalu, pemberantasan korupsi masuk ke dalam lima besar isu yang di anggap paling mendesak oleh responder. Mengapa korupsi begitu membudaya, siapa saja aktor yang terlibat hingga bagaimana kita bisa menumpas korupsi menjadi pertanyaan yang acap diajukan warga.
Semenjak KPK dibentuk sebagai lembaga yang secara khusus menangani pemberantasan koripsi. pada 2003, sampai saat ini masih belum ada tanda penurunan tingkat korupsi di Indonesia. Berdasarkan data pada tahun 2022 tiga tertinggi jumlah aktor korupsi berasal dari pegawai pemerintahan daerah (365 kasus), aktor swasta (319 kasus), dan kepada desa (174 kasus). Artinya, dengan penerapan pakta integritas yang hampir diterapkan di berbagai lembaga pemerintahan, praktik korupsi masih tetap terjadi. Tingginya kasus mengindikasikam bahwa selama 20 tahun KPK berdiri, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari tindak pidana korupsi.
KPK bukan menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewajiban untuk menangani praktik korupsi. Kepolisian dan Kejaksaan juga memiliki wewenang dalam menindak tindak pidana korupsi. Selain adanya lembaga yang menindak, upaya untuk menekan praktik korupsi juga sudah ditunjukkan dengan adanya penerapan pakta integritas. Namun, sepertinya pakta integritas semacam bukan merupakan jawaban atas praktik korupsi yang masih tumbuh subur di instansi pemerintahan.
Keserakahan dan tamak adalah sifat yang membuat seseorang selalu tidak merasa cukup atas apa yang dimiliki, selalu ingin lebih. Dengan sifat tamak, seseorang menjadi berlebihan mencintai harta. Padahal bisa jadi hartanya sudah banyak atau jabatannya sudah tinggi. Dominannya sifat tamak membuat seseorang tidak lagi memperhitungkan halal dan haram dalam mencari rezeki. Sifat ini menjadikan korupsi adalah kejahatan yang dilakukan para profesional, berjabatan tinggi, dan hidup berkecukupan. Sifat serakah ditambah gaya hidup yang konsumtif menjadi faktor pendorong internal korupsi.
Gaya hidup konsumtif misalnya membeli barang-barang mewah dan mahal atau mengikuti tren kehidupan perkotaan yang serba glamor. Korupsi bisa terjadi jika seseorang melakukan gaya hidup konsumtif namun tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai. Seseorang dengan moral yang lemah mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Aspek lemah moral misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, atau rasa malu melakukan tindakan korupsi. Jika moral seseorang lemah, maka godaan korupsi yang datang akan sulit ditepis. Godaan korupsi bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk melakukannya.
Kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi, terutama keluarga. Bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga malah justru mendukung seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan mereka. Aspek sosial lainnya adalah nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung korupsi.Â
Misalnya, Masyarakat hanya menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya atau terbiasa memberikan gratifikasi kepada pejabat. Dalam korupsi merupakan perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma.Â
Menurut teori Merton, kondisi sosial di suatu tempat terlalu menekan sukses ekonomi tapi membatasi kesempatan-kesempatan untuk mencapainya, menyebabkan tingkat korupsi yang tinggi. Â Teori korupsi akibat faktor sosial lainnya disampaikan oleh Edward Banfeld.Â
Melalui teori partikularisme, Banfeld mengaitkan korupsi dengan tekanan keluarga. Sikap partikularisme merupakan perasaan kewajiban untuk membantu dan membagi sumber pendapatan kepada pribadi yang dekat dengan seseorang, seperti keluarga, sahabat, kerabat atau kelompoknya. Akhirnya terjadilah nepotisme yang bisa berujung pada korupsi.
Keyakinan bahwa politik untuk memperoleh keuntungan yang besar menjadi faktor eksternal penyebab korupsi. Tujuan politik untuk memperkaya diri pada akhirnya menciptakan money politics. Dengan money politics, seseorang bisa memenangkan kontestasi dengan membeli suara atau menyogok para pemilih atau anggota-anggota partai politiknya. Pejabat yang berkuasa dengan politik uang hanya ingin mendapatkan harta, menggerus kewajiban utamanya yaitu mengabdi kepada rakyat. Melalui perhitungan untung-rugi, pemimpin hasil money politics tidak akan peduli nasib rakyat yang memilihnya, yang terpenting baginya adalah bagaimana ongkos politiknya bisa kembali dan berlipat ganda. Balas jasa politik seperti jual beli suara di DPR atau dukungan partai politik juga mendorong pejabat untuk korupsi. Dukungan partai politik yang mengharuskan imbal jasa akhirnya memunculkan upeti politik. Secara rutin, pejabat yang terpilih membayar upeti ke partai dalam jumlah besar, memaksa korupsi.
Hukum sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, sisi perundang-undangan dan lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari celah di perundang-undangan untuk bisa melakukan aksinya. Selain itu, penegakan hukum yang tidak bisa menimbulkan efek jera akan membuat koruptor semakin berani dan korupsi terus terjadi. Hukum menjadi faktor penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak jelas aturannya, pasal-pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sanksi yang tidak sebanding terhadap pelaku korupsi, terlalu ringan atau tidak tepat sasaran, juga membuat para pelaku korupsi tidak segan-segan menilap uang negara.
Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Di antaranya tingkat pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta juga menunjukkan besar justru dilakukan oleh orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi. bahwa korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-pasan. Korupsi dalam jumlah
Banyak kita lihat pemimpin daerah atau anggota DPR yang ditangkap karena korupsi. Mereka korupsi bukan karena kekurangan harta, tapi karena sifat serakah dan moral yang buruk. Di negara dengan sistem ekonomi monopolistik, kekuasaan negara dirangkai sedemikian rupa agar menciptakan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi pegawai pemerintah untuk meningkatkan kepentingan mereka dan sekutunya. Kebijakan ekonomi dikembangkan dengan cara yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel.
faktor penyebab korupsi penting diketahui tiap warga negara. Korupsi merupakan praktik yang merugikan negara dan juga rakyatnya. Korupsi termasuk tindakan melanggar hukum di seluruh dunia. Terkadang, kurangnya pengetahuan tentang faktor penyebab korupsi, membuat masyarakat tidak mengetahui bahwa perbuatannya termasuk tindak korupsi. Maka dari itu, faktor penyebab korupsi termasuk pengetahuan dasar yang harus dimiliki tiap orang. Ada beberapa faktor penyebab korupsi yang menjadi pemicu perilaku kotor ini. Faktor penyebab korupsi harus dipahami semua orang untuk menghindari kerugian yang dihasilkannya. Faktor penyebab korupsi bisa datang pada siapa saja dengan latar belakang apa saja.
Kerugian keuangan negara