Mulanya, Abi tidak mengerti dan tidak pula merasa hatinya tentram. Ia yakin, juga meragu. Kendati hatinya setengah bimbang, raut wajahnya berbeda.
Abi mengeluh, "Panas sekali. Dimana Lani? seharusnya aku sudah mendapatkan makan siangku."
Abi berpindah, duduk bersandar pada dinding rotan gubuknya. Abi merasa tubuhnya sangat letih usai setengah hari tanpa jeda mencangkul sawah miliknya sendiri.
"Abi!" Lani datang dengan rantang makanan di salah satu tangannya.
"Kamu lama sekali!"
"Maaf Abi, terlalu sayang melewatkan gosip bersama warga desa." Lani tertawa malu.Â
Abi jengah. Selalu seperti itu. Kekasihnya sama saja, suka sekali bergosip, untung cantik. "Abi, kamu tahu?"
Abi menghela napas, kekasihnya akan memulai gosip lagi. Sebagai kekasih yang baik, Abi mendengarkan Lani sembari memakan makanan yang dibawakan oleh kekasihnya. Masakan Lani, tidak pernah satu kali pun mengecewakannya.
"Bu Ijem bilang, desa kita sedang diteror."
"Teror apa lagi, La? Kemarin kamu juga sudah menceritakan teror desa."
"Abi, dengarkan aku dulu! Ini berbeda." Raut wajah Lani berubah serius. "Bu Ijem kemalingan."