Mohon tunggu...
Alqadr Ramadhan Arizal
Alqadr Ramadhan Arizal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Konsep Gender dan Kesehatan Mental

4 Juni 2022   09:10 Diperbarui: 4 Juni 2022   09:15 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada beberapa tahun terakhir ini perkembangan media sosial berkembang dengan pesat. Perkembangan ini ditandai dengan meningkatnya pengguna media sosial di dukung dengan perkembangan teknologi yang mumpuni. Pada abad ke-21 ini sudah tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang memiliki media sosial. 

Menurut Bangkit Ary Pratama & Defie Septiana Sari mengutip dari Riyanti media sosial merupakan platform yang mewadahi pengguna dengan menfasilitasinya dalam berbagai aktifitas. 

Menurut Bangkit Ary Pratama & Defie Septiana Sari mengutip dari Soliha kebutuhan bersosialisasi, berkomunikasi, mencari informasi, dan keperluan hiburan dapat terpenuhi berkat adanya media sosial. Menurut Dewi Purnama Sari setiap individu dapat menjalin pertemanan dengan orang di belahan dunia hanya dengan menggunakan media sosial. 

Perkembangan tersebut menunjukkan betapa bebasnya penggunaan media sosial. Kebebasan berekspresi dalam menunjukkan identitas, kebudayaan, dan kebangsaan juga merupakan salah satu contoh bebasnya dalam bermedia sosial. 

Proses pencarian identitas inilah yang sering dialami oleh remaja dengan mengembangkan diri melalui diri sendiri dan lingkungan. Masa remaja ini merupakan periode yang perubahan baik di psikologis maupun fisiologis yang signifikan karena menyesuaikan dengan kebutuhan, keterampilan, dan tanggung jawab yang ada. 

Masa remaja dipenuhi dengan hal yang tidak pasti karena ini merupakan masa dimana mereka mencari jati dirinya. Masa yang paling memberatkan mereka ini sering membuat beberapa kekeliruan dalam pandangan masyarakat. Remaja yang bebas menunjukkan identitas dan ekspresinya di media sosial sering mendapat cemooh. Hal ini merupakan salah satu dampak negatif dalam bermedia sosial. 

Dampak negatif ini kerap membuat orang mengalami gangguan kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, gangguan tidur, dan body image. Salah satu tindakan yang merupakan contoh dari dampak negatif media sosial adalah Cyber Bullying. Menurut Fifyn Srimulya Ningrum & Zaujatul Amna mengutip dari Patchin & Hinduja tindakan menyakiti orang dengan mengirim pesan hinaan di media sosial merupakan definisi dari Cyber Bullying. 

Cyber Bullying ini kerap terjadi karena remaja yang kerap menunjukkan identitasnya di media sosial. Identitas yang kerap ditunjukkan remaja ialah identitas mengenai gender mereka. Mudahnya akses internet memberikan pandangan baru kepada mereka sehingga pemahaman yang dimiliki juga berbeda. Pahamnya mereka mengenai bergender adalah pilihan individu membuat mereka melakukan hal serupa di media sosial. 

Tidak jarang jika menemukan beberapa remaja dengan penyimpangan gender di media sosial. Pandangan masyarakat tentang penyimpangan gender inilah yang memicu terjadinya Cyber Bullying. 

Masyarakat yang sudah merekontruksi pemikiran tentang gender ini menjadi stereotip dalam kehidupan. Awalnya masyarakat sudah menetepakan segalanya sesuai dengan kategori gender baik dari keluarga maupun lingkungan, bahkan dipengaruhi oleh dominasi seperti indoktrinasi. 

Setiap individu yang memiliki keunikan tersendiri dituntut untuk bertindak sesuai dengan gender dikarenakan indoktrinasi ini. Oleh karena tuntutan tersebut yang membuat remaja mengekspresikan dirinya di media sosial.

Perkembangan media sosial selalu diiringi dengan perkembangan teknologi. Fungsi media sosial menurut Annisa ialah sebagai sumber informasi, korelasi, dan hiburan. Media sosial tentu saja menjadi media dalam penambah pengalaman dan informasi yang tentu saja mempengaruhi tidak hanya identitas diri namun lingkungan sosial. Media ini tentu saja mempengaruhi kontruksi pemahaman mengenai identitas diri. 

Identitas sendiri berarti pengartian terhadap diri sendiri yang kita pahami lalu di proyeksikan ke orang lain sehingga identitas diri terbentuk. Pembentukan identitas ditunjukkan saat proses pemberian respon atatu ekspresi terhadap tanggapan orang lain.

Identitas ini tidak membatasi gender karena bebasnya dalam berekspresi. Setiap orang bebas mengekspresikan dirinya. Konsep gender sendiri dibedakan menurut seks  dan jenis kelamin secara biologis. Pengkategorian laki-laki dan perempuan melalui atribut maskulinitas dan femininitas yang didukung dengan dukungan masyarakat bersangkutan merupakan definisi dari gender. 

Kebebasan ekspresi di media sosial tidak membatasi seseorang untuk menunjukkan identitasnya, Karakteristik maskulinitas dan femininisme digabungkan dan muncul androgini sebagai bukti bentuk kebebasan berekspresi. 

Pembagian peran maskulin dan feminim pada waktu yang bersamaan merupakan arti dari androgini. Menurut Annisa mengutip dari Sandra Lipzits mereka yang bisa menyeimbangkan maskulinitas dan femininitas adalah mereka yang memiliki identitas gender yang sehat. Individu yang androgini memiliki gaya yang lebih fleksibel dan lebih secara mental dibandingkan individubyang maskulin ataupun feminim.

Peran gender dalam sistem sosial masyarakat selain jenis kelamin adalah fashion. Sebuah cara atau kebiasaan dan mode merupakan gambaran dari istilah fashion yang dimana mengekspresikan identitas pemakainya. Kebanyakan masyarakat menganggap fashion sebagai penggambaran gender. Penggambaran gender inilah yang menandakan adanya batas dalam brekspresi. 

Remaja kini sering menggunakan media sosial dan mengekspresikan gender mereka dengan bebas. Pengekspresian diri di media sosial ini menunjukkan bahwa mereka bangga dengan identitas gender yang dimiliki. Hal ini dilakukan karena mereka merasa identitasnya tidak diterima oleh masyarakat sekitar sehingga membuat mereka mengekpresikannya di media sosial. 

Selain itu ini terjadi karena masyarakat sudah menetapkan segalanya dalam kategori gender. Individu yang unik ini dipaksa oleh lingkungan untuk bertindak sesuai gender mereka bahkan dengan cara berpaikan. Penggunaan pakaian androgini yang menyeimbangkan maskulin dan feminim ini merupakan salah satu contoh bahwa tidak ada gender dalam berpakaian. 

Remaja dengan terbuka akan memberi tahukan identitas gender mereka di media sosial dan menyuarakan bahwa dalam fashion tidak dibatasi oleh gender. Tindakan yang dilakukan ini tentu saja memicu berbagai reaksi masyarakat di media sosial. Banyak sekali masyarakat yang tidak terima dengan pendapat mereka. Banyak dari mereka yang mengatakan bahwa dalam fashion tentu ada gender didalamnya yang membedakan maskulinitas dan femininisme.

Tidak sedikitpula dari mereka yang mencemooh di media sosial. Tindakan merugikan yang menghina orang lain secara berulang di media sosial disebut dengan Cyber Bullying. Remaja yang mengekspresikan diserang oleh orang-orang yang tidak setuju dengan pendapat mereka mengenai fashion tidak ada gender atau paham tentang penyimpangan gender mereka selalu melakukan aksi Bullying. 

Para remaja yang menjadi korban Bullying ini disebut dengan Cyber Bullying Victimization. 

Remaja yang mengalami Cyber Bullying ini tidak hanya dirugikan secara material namun juga kerugian secara mental. Mereka yang mengalami bullying ini akan terganggu secara kesehatan mental yang buruk bagi mereka. Kecemasan, depresi, hingga bunuh diri merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan oleh Cyber Bullying. 

Korban Cyber Bullying kerap mengalami kesulitan dalam sosial karena memiliki tekanan kecemasan dan depresi yang dialami. Oleh karena itu tindakan Cyber Bullying perlu segera di minimalisir sebelum korban yang ada bertambah. 

Tindakan yang dilakukan dapat dilakukan ialah dengan adanya hukum yang mengatur tentang media sosial. Pemerintah mampu memberikan beberapa cara seperti pemberlakukan beberapa undang-undang yang secara khusus mengatur tentang media sosial. 

Pemerintah akhirnya memberikan undang-undang yang secara khusus mengatur hukum tentang media sosial yaitu undang-undang ITE. Undang-undang ini mengatur tentang hukum di media sosial seperti kekrasan maupun pelecehan secara online. Pemberian undang-undang ITE ini nantinya diharapkan mampu meminimalisir tindakan bullying yang terjadi di media sosial.

Media sosial kini semakin berkembang diiringi dengan kemajuan teknologi yang ada. Perkembangan ini menunjukkan kemudahan dan kebebasan dalam bermedia sosial. Kebebasan berekspresi dalam media sosial merupakan salah satu contohnya. Banyak remaja yang mengekspresikan dirinya dan menunjukkan identitas nya dengan mudah di media sosial. 

Para remaja ini mengekspresikan bahwa mereka bebas dalam memilih gender karena tidak ada batasan gender dalam seseorang. Masyarakat yang sudah mengategorikan gender sesuai dengan peran masing masing tentu saja tidak setuju dengan hal ini. Mereka melakukan tindakan cemooh secara berulang agar korban merasa tidak nyaman melakukan hal tersebut.  

Tindakan yang disebut dengan Cyber Bullying ini sangat merugikan korbannya karena mengganggu kesehatan mentalnya. Dampak negatif yang dibawa ialah kecemasan, depresi, hingga bunuh diri. Tindakan ini tentu sangat merugikan sehingga diperlukan peraturan khusus mengenai hal tersebut.

Pemerintah akhirnya mengeluarkan undang-undang khusus untuk mengatur hal tersebut. Undang-undang ITE yang diberikan oleh pemerintah diharapkan mampu mengurangi kasus Cyber Bullying yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun