Mohon tunggu...
Alpi AnwarPulungan
Alpi AnwarPulungan Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa yang merantau ke Malang hanya karena membaca novel Apa pun Selain Hujan

Lahir di sebuah desa terpencil di Sumatra Utara, tepatnya di desa Sorimadingin Kabupaten Tapanuli Selatan. Saat ini tengah menempuh studi S1 pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, angkatan 2017 dan mengambil minat sastra. Dulu memiliki hobi memangkas rambut dan bermain sepak bola di perbatasan kampung di dekat sungai Angkola tetapi sekarang mulai menyukai film-film Bollywood dan menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menepis Hasrat Pulang

26 Desember 2020   01:01 Diperbarui: 26 Desember 2020   01:11 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                "Jangan ada yang memakannya!" Ucapnya berapi-api.

                Beberapa orang pun ada yang berhenti dan bertanya kepada Murad, beberapa tetap melanjutkannya. Aku menyingkirkan makanan di hadapanku dan akhirnya diambil orang lain.

                "Mereka menghidangkan makanan lebih cepat dari biasanya. Walau aku tidak punya jam tetapi aku tahu kalau sekarang sebenarnya belum waktunya untuk makan. Mungkin saja makanan ini sudah dicampur racun atau obat bius agar kita tidak melawan ketika dipulangkan nanti. Percaya padaku!" Ucap Murad dengan suara yang sedikit bergetar.

                Aku bisa merasakan ketakutan yang dialami oleh Murad. Walaupun tinggal di Malaysia tidak aman tetapi memang belum waktunya untuk pulang ke Aceh.

                Setelah cukup lama. Orang-orang yang menghabiskan makanannya merasa sakit, pusing dan tak sadarkan diri. Murad terus mengutuki mereka karena tidak mempercayainya. Kalian mau saja dibodoh-bodohi, ucapnya. Lalu tidak lama puluhan polisi menyergap kami dan menyuruh berkumpul untuk dipulangkan. Aku melihat beberapa orang melawan. Lalu mereka pun dipukuli. Murad yang melihat kejadian itu lantas langsung membalas memukuli polisi. Kerusuhan pun terjadi. Aku, Imran, Hamzah dan teman-teman lainnya mempersenjatai diri dengan besi yang kami ambil dari pagar. Polisi pun menembakkan gas air mata yang membuat orang-orang berteriak keras dan mulai sesak nafas. Mata terasa perih dan air mata mulai berjatuhan. Polisi yang sudah memakai pelindung gas air mata dengan leluasa memukuli kami dengan tongkat mereka. Mereka mengikat kami dengan tali plastik, ada juga yang terpaksa diborgol. Aku melihat teman-teman ada yang memar, patah kaki dan tangan lalu diseret keluar, dipaksa berkumpul dan dicampakkan ke truk. Imran yang melihat itu lantas menyulut api dan membakar barak. Kami semua -orang-orang yang menahan diri untuk tidak makan- melakukan perlawan kepada polisi. Kami menghantam mereka dengan tongkat yang berhasil direbut, beberapa orang menendang kepalanya, beberapa lagi memijak perutnya. Jumlah kami sangat banyak saat itu hingga polisi kewalahan. Mereka mulai mengeluarkan suara tembakan. Aku melihat sendiri bagaimana Imran ditembak di bahunya, membuatnya mengerang kesakitan lalu berteriak kencang ketika melihat darah mulai menetes. Aku mencoba menolongnya tetapi kemudian satu peluru tepat mengenai dadaku sebelah kiri, membuatku langsung tersungkur ke tanah. Dengan tatapan yang mulai kunang-kunang, aku melihat orang-orang berlarian, kabur dari penjara Semenyih. Dari derap langkahnya bisa kuperkirakan lebih dari setengah jumlah kami berhasil kabur. Beberapa kulihat ada yang lari ke selatan, beberapa ke barat dan beberapa ke utara. Aku membuka paksa mataku yang mulai terasa berat tetapi tidak bisa lalu sepenuhnya kini sudah terpejam.

                Pikiranku melayang ke tempat lain. Aku melihat bayangan orang tuaku begitu gembira menyambut kepulanganku di Aceh. Mereka menantiku di simpang jalan. Membawaku pulang ke tempat paling nyaman di muka bumi; rumah yang begitu kurindukan, masa kecil yang penuh kenangan. Aku harus pergi, aku harus pulang, ucapku lirih kepada sosok berjubah putih yang terus saja menyebut dirinya sebagai malaikat maut.

*Mengenang masyarakat Aceh yang melarikan diri dari Daerah Operasi Militer dalam kurun waktu 1989-1998.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun