"Gara-gara GAM kita semua jadi kehilangan keluarga, kehilangan pekerjaan dan harus terbuang jauh ke Malaysia ini."
        Mereka kemudian menatapku penuh tanya.
        "Namaku Mahmud, aku ditangkap sewaktu pelarian ke Malaysia" Ucapku mengenalkan diri.
        "Mengapa kamu melarikan diri ke Malaysia?" Tanya salah seorang dari mereka.
        "Kombatan GAM singgah di rumahku. Aku takut ada yang melapor."
        "Aku juga dulu sepertimu." Seseorang yang lain ikut bergabung.
        "Dulu aku memiliki keluarga. Sehari-hari aku biasa berjualan di pasar. Setiap hari tentara mengambil daganganku tanpa pernah dibayar, kalau pun mereka mau membayar itu hanya sedikit sekali. Hingga suatu hari ada seorang tentara mengambil daganganku, ketika dia sedang memilah memilihnya, aku mengambil parang lalu membacok kepala belakangnya kemudian mencincang badannya. Orang-orang sangat ketakutan, mereka menyuruhku untuk bersembunyi. Kami semua yang berjualan di pasar itu pun melarikan diri."
        "Di kampungku juga seperti itu. Oh iya namaku Hamzah. Aku dari Pidie. Di kampungku tentara menembaki banyak orang untuk mengisi waktu luang mereka. Jika ada orang-orang yang lari ketika mereka datang maka akan langsung ditembak. Ketika kami semua protes mereka hanya mengatakan kalau yang mereka tembak adalah kombatan GAM yang menyamar menjadi petani. Padahal orang-orang lari bukan karena termasuk kombatan GAM melainkan karena ketakutan melihat bedil dan sikap petentengan mereka. Kalau masih ada yang melawan, mereka tidak segan-segan menodongkan senjata lalu membawanya pergi. Sejak saat itulah aku merasa tinggal di Aceh sudah tidak aman lagi bahkan bagi warga sipil yang menetap di pedesaan sekalipun. Aku kemudian lari ke Malaysia. Aku menikah dengan perempuan Malaysia agar mudah dapat izin tinggal dan pekerjaan. Hingga ketika aku sakit, aku menyuruhnya membawaku ke rumah sakit tetapi dia malah melaporkanku ke polisi."
        "Lebih baik dipenjara di Malaysia dari pada tinggal di Aceh." Teriak seorang yang lainnya.
        Mendengar ucapan itu orang-orang hanya mengangguk-angguk lalu ada jeda cukup panjang.
        "Namaku Imran, aku sudah lama hidup di Malaysia." Seseorang mulai bercerita lagi.