Mohon tunggu...
Alpaprana
Alpaprana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Jika arwah sang penyair, dan setumpuk kesedihan pecinta sastra mengalir di urat nadi, maka ijinkanlah aku mencumbui setiap mata yang membaca rangkaian kalam rahsa alpaprana (aksara biasa), sampai terbenamnya bahasa penaku di keabadian sulbi makhluk berkulit tanah, sebelum tiupan sangkakala memanggil, menyentuh udara kiamat, hingga membangunkan seisi jagad raya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Netra Pagi dalam Tangisan Waktu

11 Oktober 2016   04:16 Diperbarui: 11 Oktober 2016   04:28 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seucap resah

tersadar lelah

menasbihkan titik-titik embun basah

di temaram mata pagi

menyemat seutuh rahsa filantropi

 

Klandestin ; bunga Matahari tersenyum, akarnya menangis.

 

Seperti seharusnya

di balik segala peristiwa kelukaan

sebab kerinduan yang dipaksa mati

adalah kenisbian akal manusia

bukan kejujuran hati

bukan pula keinginan diri

hanya membencilkan kebahagiaan

sebagai wujud ketegaran

hanya mematuhi keadaan

searah sotya netra pemikiran

 

Seucap pagi di buku jiwa

memuisikan bait-bait dilema

dari jejak-jejak waktu berbalik

dan suara rindu berteriak jauh ke dalam

di balik gelap memiliki terang

mimpi filantropi menembus nyata

nelangsa terkembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun